Musik Gong Kecil
Perupa Heri Dono menampilkan instalasi gerak kinetik untuk menabuh 10 gong kecil secara bergantian. Instalasi yang menghasilkan irama musik gong kecil itu diberi judul ”Shock Therapy for Global Leaders” atau Terapi Kejut untuk Para Pemimpin Global.
Setiap gong kecil dilekatkan di sandaran kursi kayu kecil di dinding. Di bawah kursi itu digantungkan wayang-wayang yang terbuat dari kertas karton.
Wayang-wayang itulah sosok para pemimpin global. Heri Dono menggantungnya secara terbalik, kepalanya berada di bagian bawah.
Heri Dono ingin menggugah para pemimpin global untuk berpaling dan tidak saling meniadakan budaya lokal. Seni tradisi dengan unsur musik gong yang melekat di dalam budaya lokal kita menjadi contoh.
Perupa I Made Djirna menyuarakan hal serupa lewat cara yang berbeda. Karya lukisannya yang diberi judul ”Warna-warna NTT” itu merupakan hasil eksplorasi budaya lokal berupa warna-warni alami yang digunakan untuk pewarna kain tenun di Nusa Tenggara Timur.
Penggunaan bahan pewarna alami itu kini semakin tergerus bahan pewarna kimia yang tidak ramah lingkungan. Selain semakin mengesampingkan budaya lokal, manusia industrial juga semakin tidak memedulikan kelestarian lingkungan hidup.
Nasirun lewat karyanya yang berjudul ”Suara Semesta” menyampaikan pesan kepedulian terhadap masalah lingkungan. Lukisan abstrak dibubuhkan Nasirun pada sebuah meja kayu.
Di dekatnya ada sebuah kursi goyang dengan alas duduk tertanam puluhan tusuk konde bercat hijau muda. Di puncak sandaran kursi goyang pun ditancapkan tusuk-tusuk konde serupa yang bercat hijau muda pula.
Tusuk-tusuk konde itu mengesankan sebuah rumpun pepohonan. Nasirun mengesankan pepohonan yang ditumbuhkan di atas kursi goyang menyiratkan pesan kini bukan saatnya lagi asyik duduk bersantai di kursi goyang. Kini, saatnya bangkit dari kursi goyang untuk bergerak dan peduli lingkungan. Menanam pohon.
Perupa muda Prabu Perdana lewat karya lukisan monokromatik hitamnya yang berjudul ”Green Turns to Black” atau Hijau Menjadi Hitam semakin menahbiskan kebenaran ketidakpedulian kita terhadap lingkungan. Prabu melukiskan konstruksi bangunan industrial yang samar di atas lahan sawah yang tampak kelam dan hitam memudar tak lagi hijau.
Kegetiran demi kegetiran terpapar dari sebagian karya pascatradisonalisme ini.
Tatapan kosong
Perupa I Gusti Agung Bagus Ari Maruta menggenapi kegetiran yang sudah-sudah lewat karya lukisannya yang berjudul ”The Blank Stares” atau Tatapan Kosong. Ari Maruta melukis rangda atau ratu para leak dalam sebuah mitologi yang berkembang di Bali.
Rangda itu diam seperti terpaku. Tak biasanya rangda terdiam. Geraknya selalu lincah dan bergelora. Ari Maruta melukiskan rangda yang terdiam seribu bahasa. Kedua bola matanya nanar dan menatap hampa.
Sebagai karya pascatradisionalisme, Ari Maruta sepertinya ingin menggugat keberlangsungan nasib tradisinya. Pascatradisionalisme tidak mustahil adalah kematian sebuah tradisi lama. Namun, selalu saja ada harapan tumbuh kembali tradisi baru berikutnya.
Perupa Nita Azhar menampilkan sebuah karya instalasi yang berbeda. Nita yang berbasis mode itu menampilkan karya yang diberi judul ”Sinjang Drupadi”. Kain batik panjang menghubungkan dua sosok boneka berlengan kayu dari bagian akar pohon kopi itu.
Boneka yang ada di depan mengisahkan sosok Drupadi, tokoh pewayangan sebagai istri para Pandawa dari epos Mahabharata. Kain batik yang panjang itu juga melilit erat tubuhnya.
Untaian bunga melati dengan lebatnya terurai dari kepalanya. Nita menuturkan tentang sumpah Drupadi yang tidak akan mengikat rambut sebelum mengeramasinya dengan darah Dursasana.
Sosok Dursasana digambarkan sebagai boneka yang sedang menarik kain yang melilit tubuh Drupadi. Dari raut muka sosok Dursasana, Nita menjalin cabai-cabai merah menyala sebagai jenggot untuk mengiaskan keberingasan.
”Inspirasi karya ini dari kisah Pandawa yang tega menjadikan Drupadi sebagai taruhan dalam judi permainan dadu dengan para Kurawa,” kata Nita.
Ia mengemukakan, kisah tersebut masih relevan sampai sekarang. Nita mengaku, ia masih menjumpai praktik serupa yang menempatkan istri sebagai taruhan judi suami.
Perupa Eunike Nugroho menampilkan lukisan realisme yang kerap disebut pula bunga bangkai, yaitu ”The Titan” (Amorphophallus titanum). Ukurannya cukup besar, tinggi 240 sentimeter dan lebar 113 sentimeter.
Meski indah, tetapi mengesankan satire berupa dominansi laki-laki. Amorphophallus titanum berkonotasikan sebagai phallus atau alat kelamin laki-laki.
Para perupa berikutnya juga menampilkan kontraksi atau pergulatan pascatradisionalisme dari sudut pandang masing-masing. Ada harapan kecerahan, ada pula kegetiran yang menganga.
Kurator Suwarno Wisetrotomo mengatakan, skill atau keterampilan memvisualisasikan gagasan dipertimbangkan sebagai keutamaan di dalam pameran ini. Menurut Suwarno, hal itu sebagai ekses dari berkembangnya tampilan seni rupa kontemporer saat ini tanpa diimbangi dengan keterampilan seni rupa.