Produk Lokal yang Tak Mau Kalah
Popularitas kopi membuat sejumlah pemilik kafe kopi membuka peluang kerja sama dengan pihak lain. Bahasa bisnisnya, waralaba atau kemitraan.
Janjian bersua di kafe kopi sudah biasa, bahkan jadi bagian gaya hidup dan pergaulan. Tinggal sebut nama kafe kopi favorit, lalu meluncur ke lokasi. Jangan salah, bisa jadi kafe tempat merajut janji temu itu adalah kafe lokal yang sudah ada di mana-mana.
Popularitas kopi membuat sejumlah pemilik kafe kopi membuka peluang kerja sama dengan pihak lain. Bahasa bisnisnya, waralaba atau kemitraan.
Deputy Director of Corporate Communication PT Citarasa Prima Indonesia Berjaya, Sarita Sutedja, menceritakan, pada 2017, pihaknya meluncurkan gerai Upnormal Coffee Roaster. PT Citarasa Prima Indonesia Berjaya adalah pemilik merek Upnormal.
Aksi korporasi ini untuk mendekatkan diri dengan konsumen muda pencinta kopi. Desain gerai juga memungkinkan konsumen menggelar pertemuan atau rapat informal di kafe.
”Kami menggunakan biji kopi premium, disangrai dengan mesin sehingga menghasilkan kualitas prima dan konsisten. Semula, kami menggunakan varian Gayo Aceh saja dengan pertimbangan secara rasa bisa diterima semua kalangan. Kini, kami bersiap menggunakan varian Java Preanger dari Jawa Barat,” katanya.
Ada bermacam-macam menu kopi di Upnormal, termasuk cold brew yang diberi label khusus, Gatot Kaca. Namun, seiring tren menyeruput kopi susu, perusahaan meluncurkan es kopi susu dalam kemasan bernama SiEko. Tujuannya, memenuhi keinginan pelanggan untuk menikmati es kopi susu dengan kualitas kopi, susu, dan gula aren premium.
Menurut Sarita, ada 12 gerai Upnormal Coffee Roaster, baik yang dikelola sendiri maupun dikelola mitra. Gerai-gerai itu ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.
Selain mengembangkan bisnis gerai minuman kopi, perusahaan itu juga memproduksi biji kopi yang sudah disangrai dan dikemas dengan merek Upnormal Coffee. Pada akhir 2018, perusahaan telah mengekspor 13 ton kopi ke Amerika Serikat.
Secara terpisah, Yunita, Marketing and Event Coordinator Anomali Coffee, menyebutkan, Anomali Coffee membuka kesempatan waralaba bagi pihak lain sejak 2017. Kesempatan waralaba itu agar bisnis bisa berkembang lebih cepat, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Perihal konsep waralaba, Yunita menyebutkan, operasional gerai waralaba masih dikelola tim Anomali Coffee. Dengan demikian, mitra strategis hanya berperan sebagai investor.
Konsep ini membuat bisnis Anomali Coffee tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Secara keseluruhan, ada 15 cabang di Jakarta, Bali, Makassar, Surabaya, dan Medan. Dari jumlah itu, ada lima gerai di antaranya berupa waralaba.
Sepanjang produknya mudah ditiru orang lain, maka daya tahan mereknya akan diuji, bertahan atau tergilas.
Anomali Coffee didirikan Irvam Helmi dan Muhammad Abgari pada 2007, yang diawali dengan fokus pada bisnis menyangrai kopi. Sejak awal usaha sampai kini, kopi yang disediakan dan digunakan Anomali hanya kopi dari Indonesia.
Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano Gema menjelaskan, Bekraf berkomitmen mendukung hilirisasi kopi Indonesia. Enam deputi di Bekraf berperan memajukan kopi Indonesia di sisi hilir.
Ia mencontohkan, bidang Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi berperan dalam memfasilitasi pelatihan dan sertifikasi barista. Sejak 2016 hingga kini, sebanyak 2.611 barista di 26 kota di Indonesia mengikuti program itu.
Mencermati geliat kafe kopi di Indonesia yang berkembang menjadi waralaba, pengajar dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Eris Susandi menyebutkan, sejauh ini belum banyak merek lokal yang bertahan lama untuk diwaralabakan. ”Sudah ada yang diwaralabakan, tetapi ketahanannya untuk jangka panjang harus diuji lagi,” ujarnya.
Konsep
Menurut Eris, beberapa tahun terakhir muncul kedai kopi dengan konsep pembeli membawa kopinya pulang, tidak diminum di tempat. Konsep ini kerap diterapkan pemilik toko/kafe waralaba.
Ada beberapa merek yang membuka kios-kios kecil di mal dan perkantoran. Pembeli bisa mampir ke kios, memesan kopi, lantas pergi tanpa perlu duduk di kios itu. Kios pun tak perlu menyediakan kursi.
Kios-kios kopi dengan konsep ini bersaing ketat. ”Sepanjang produknya mudah ditiru orang lain, maka daya tahan mereknya akan diuji. Bisa bertahan atau akan tergilas,” tambah Eris.
Ada faktor lain yang membuat warung kopi belum bertahan lama. ”Orang Indonesia kalau minum kopi harus duduk lama sambil ngobrol. Padahal, gerobak dan kios kopi tidak menyediakan tempat untuk duduk lama. Beli kopi di pinggir saat jalan ke kantor itu bukan kebutuhan, tetapi karena sedang tren,” katanya.
Salah satu gerai kopi dengan konsep khas adalah Kopi Kenangan. Bermain dengan kata ”kenangan” sebagai strategi utama pemasaran, bisnis kopi specialty buatan lokal ini terus berekspansi. Sejak berdiri Agustus 2017 hingga April 2019, sudah ada 66 gerai yang tersebar di Jabodetabek dan Surabaya. Semuanya tidak berstatus waralaba.
Salah satu pendiri Kopi Kenangan, James Prananto, menjelaskan, siapa pun, tak memandang usia, pasti memiliki kenangan dalam hidup. Dari sanalah kata ”kenangan” dipakai sebagai merek, nama menu, sekaligus strategi pemasaran.
Seperti Kenangan, Fore Coffe juga belum berminat menawarkan waralaba karena alasan menjaga kontrol kualitas produk. Total cabang Fore mencapai 43 gerai yang semuanya berlokasi di DKI Jakarta.
CEO Fore Coffee Robin Boe mengatakan, Indonesia memasuki era konsumen baru yang ditandai dengan layanan serba digital, termasuk membeli minuman. Infrastruktur seperti sistem pembayaran dan logistik telah mendukung.