Delegitimasi Pemilu Berlanjut, Tim Hukum Nasional Dibentuk
Pemerintah meminta upaya-upaya untuk mendelegitimasi proses dan hasil Pemilu 2019, dihentikan. Jika masih dilanjutkan, aparat penegak hukum tak akan ragu untuk menindak. Tak hanya itu, tim hukum nasional akan dibentuk.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta upaya-upaya untuk mendelegitimasi Pemilu 2019 dihentikan. Jika masih dilanjutkan, aparat penegak hukum tidak akan ragu untuk menindak. Tak hanya itu, tim hukum nasional khusus juga dibentuk untuk mengkaji ucapan, tindakan, ataupun pemikiran dari siapa pun yang nyata-nyata melawan dan melanggar hukum.
”Aparat penegak hukum tidak akan ragu-ragu untuk menindak tegas siapa pun yang nyata-nyata melawan hukum untuk mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukkam) Wiranto setelah rapat terbatas di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Rapat turut dihadiri antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto.
Wiranto menegaskan, tidak ada kecurangan pemilu yang sifatnya terstruktur, sistematis, masif, dan brutal, seperti kerap dituduhkan sejumlah pihak.
Kalaupun ada kecurangan, kecurangan itu sifatnya invidual dan sporadis, sama seperti yang kerap terjadi di pemilu sebelumnya.
Untuk mengatasinya, dia melanjutkan, sudah ada instrumennya sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain oleh Badan Pengawas Pemilu, Sentra Penegakan Hukum Terpadu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Mahkamah Konstitusi.
Berangkat dari hal itu, Wiranto berharap peserta pemilu mematuhi hukum yang berlaku. ”Jangan menuduh sepihak dan kemudian mengajak masyarakat tidak mematuhi hukum. Itu jelas melanggar hukum dan konstitusi,” katanya.
Ia pun meminta seluruh pihak untuk menghargai proses pemilu. Terlebih dengan gugurnya lebih dari 400 petugas penyelenggara pemilu.
Tim hukum
Wiranto juga mengatakan, melalui rapat disepakati pula pembentukan tim hukum nasional. Tim yang antara lain terdiri atas pakar hukum tata negara itu akan mengkaji ucapan, tindakan, ataupun pemikiran dari siapa pun yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum.
Ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berupaya mendelegitimasi penyelenggara pemilu, tetapi juga menghina Presiden.
”Tidak bisa dibiarkan adanya rongrongan pada pemerintahan yang masih sah dan cacian kepada Presiden yang masih sah menjabat. Itu sudah ada hukum dan sanksinya. Kita akan melaksanakan itu kepada siapa pun, dari tokoh hingga mantan jenderal,” tambahnya.
”Jangan menuduh sepihak dan kemudian mengajak masyarakat untuk tidak mematuhi hukum. Itu jelas melanggar hukum dan konstitusi,” kata Wiranto.
Dalam kesempatan itu, Wiranto pun memastikan aparat TNI/Polri tetap solid menjaga ketertiban, keteraturan, dan keamanan nasional.
”Kalau ada pihak-pihak tertentu yang mengaku sudah memiliki pengaruh 70 persen TNI itu omong kosong, itu tidak benar. Banyak hasutan dan hal yang meresahkan itu akan kami tindak secara hukum. Masyarakat jangan terpengaruh, aparat keamanan tetap solid untuk seluruh bangsa,” kata Wiranto.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, melalui rapat terbatas tersebut, pihaknya mendapatkan sokongan yang lebih kuat dalam menindak pihak-pihak di media sosial yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kata Rudiantara, bukan satu-satunya ”amunisi”. Undang-undang lain, seperti Kitab Umum Hukum Pidana, juga dapat digunakan untuk menindak pihak-pihak yang berpotensi mengganggu keamanan negara.
”Hukum yang menjadi dasar upaya penindakan yang dilakukan Kominfo menjadi semakin kuat. Kini bukan hanya dari UU ITE, tetapi juga KUHP, khususnya bab Kejahatan terhadap Keamanan Negara dan Kejahatan terhadap Ketertiban Umum,” kata Rudiantara.
Dalam Bab Kejahatan terhadap Keamanan Negara KUHP, tercantum di antaranya pasal yang mengatur berbagai hal, seperti tentang makar (Pasal 104), pemberontakan (Pasal 108), dan spionase (Pasal 111).
Sementara itu pada Bab Kejahatan terhadap Ketertiban Umum terdapat pasal-pasal seperti Pasal 155 mengenai larangan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia; dan Pasal 169 yang mengatur partisipasi dalam perkumpulan yang bertujuan untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran.