DPR Didesak Segera Lanjutkan Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual yang tak kunjung berhenti menimpa perempuan dan anak-anak seharusnya semakin mendorong pemerintah dan DPR untuk segera untuk mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena itu, DPR didesak segera melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2018-2019.
“Kami berharap Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR menepati janjinya untuk melakukan pembahasan Daftar Inventaris Masalah RUU tersebut bersama pemerintah,” ujar Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Veni Siregar, di Jakarta, Minggu (5/5/2019).
Ia menyatakan, Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan akan mendukung proses pembahasan dengan melakukan penguatan studi kasus-kasus sembilan bentuk kekerasan seksual dan elemen-elemen kunci sebagai aspek wajib yang harus diakomodir dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati menegaskan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak karena hingga kini para korban kekerasan seksual belum mendapatkan pemulihan dari negara. Kehadiran undang-undang yang memastikan negara menjamin hak atas pemulihan korban sangat dinantikan.
“Pemerintah dan DPR harus serius memperhatikan kebutuhan para korban kekerasan seksual. Karena itu kami berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati.
Pemerintah dan DPR harus serius memperhatikan kebutuhan para korban kekerasan seksual.
Undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan seksual mendesak karena hingga kini jaminan undang-undang dan layanan yang memulihkan korban kekerasan seksual sangat minim. “Pelaku kekerasan seksual dibebaskan, korban bertahun-tahun menghadapi proses hukum untuk mencari keadilan, dan dukungan masyarakat yang belum komprehensif harus segera diakhiri dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata dia.
Anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo, mengungkapkan, Masa Persidangan V DPR baru akan dimulai pada Rabu (8/5/2019). “Sudah pasti akan ada pembahasan. Paling minggu depannya lagi dimulai,” ujarnya.
Harmonisasi perundang-undangan
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ninik Rahayu mengingatkan DPR saat melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, harus dilakukan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang ada termasuk dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini juga menjadi prioritas legislasi nasional DPR.
“Kita tahu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi pembahasan yang sangat intensif dan diharapkan juga akan disahkan pada periode DPR saat ini. Itu pun pihak pemerintah masih ada perbedaan substantif dengan organisasi masyarakat sipil, masih ada beberapa pasal yang kontroversial,” ujar Ninik saat hadir pada acara diskusi dengan media yang digelar Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Minggu.
Karena itu, menurut Ninik, kalau proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikaitkan dengan proses legislasi RKUHP, ada beberapa irisan rumusan yang sangat kuat. “Nah sejauh mana harmonisasi dilakukan, ini yang kami tidak dengar,” katanya.
Kalau proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikaitkan dengan proses legislasi RKUHP, ada beberapa irisan rumusan yang sangat kuat.
Untuk itu, DPR harus melakukan pembahasan terbuka sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Karena negara tidak sekadar membuat undang-undang, tetapi membangun aturan hukum. Karena itu dalam konteks pembangunan hukum nasional, penyusunan UU harus dilakukan terpadu, berkelanjutan dalam sistem perlindungan hak asasi manusia.
Ninik juga berharap DPR memastikan aspirasi dan masukan dari berbagai pihak terakomodasi. Apalagi, ada perbedaan pandangan dari organisasi masyarakat sipil. “Mudah-mudahan setelah masa pemilihan umum selesai tidak muncul lagi kontroversi,” kata Ninik.