Dua pekan ini, nasib naturalisasi di Jakarta akan ditentukan. Penentuan ini amat bergantung pada luas lahan di sekitar sungai yang bisa dibebaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh
J Galuh Bimantara
·4 menit baca
Dua pekan ini, nasib naturalisasi di Jakarta akan ditentukan. Penentuan ini amat bergantung pada luas lahan di sekitar sungai yang bisa dibebaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Tim Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane membutuhkan waktu sekitar sepekan ke depan untuk pemeriksaan kembali 14 hektar lahan di sempadan Sungai Ciliwung yang sudah dibebaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hasil pengecekan akan menentukan mungkin atau tidaknya konsep naturalisasi diterapkan.
Selain itu, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) juga membutuhkan sepekan lagi untuk menyelesaikan rancangan konstruksi penataan sungai.
Kepala BBWSCC Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bambang Hidayah mengatakan, pihaknya memeriksa kembali lahan seluas total 14 hektar di sempadan Ciliwung yang diklaim Pemprov DKI sudah dibebaskan. Dengan lahan itu, kabarnya penataan kali bisa dilakukan pada total 2 kilometer ruas kali.
”Jika (pemeriksaan kembali) sudah tuntas, kami akan tentukan desain konstruksinya di setiap titik. Jika ruang cukup lebar, bisa naturalisasi,” ucap Bambang saat dihubungi pada Minggu (5/5/2019).
Bambang menyebutkan, jika Pemprov DKI bisa mendapatkan lahan selebar 55 meter termasuk sungai, itu sudah ideal tetapi desain naturalisasi belum bisa diterapkan. Desain yang cocok masih normalisasi dengan menanggul sungai menggunakan beton dan dinding tanggul tegak lurus. Lebar 40 meter untuk sungai dan 15 meter (masing-masing 7,5 meter di kanan dan kiri sungai) untuk sempadan.
Sementara itu, Gubernur DKI Anies Baswedan berjanji tidak ada penggusuran dalam merevitalisasi sungai. Ia mengedepankan konsep naturalisasi, seperti tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.
Salah satu penerapan naturalisasi adalah penggunaan bronjong batu kali untuk turap sungai. ”Kalau menggunakan bronjong, tebingnya harus landai. Jika tidak, bronjong akan terbawa arus,” ujar Bambang.
Karena tebing harus landai, Pemprov DKI harus menyediakan lahan selebar minimal 12,5 meter masing-masing di kiri dan kanan sungai untuk membuat tebing. Lebar lahan yang mesti tersedia, termasuk untuk daerah sempadan, dengan demikian 80-90 meter.
Tekan banjir
Penataan Sungai Ciliwung dibutuhkan segera untuk menekan risiko banjir pada area di sekitarnya, seperti sudah terjadi akhir bulan lalu. Pada Kamis (25/4/2019) malam, hujan kategori sangat lebat mengguyur Bogor dan sekitarnya sehingga status siaga Bendung Katulampa dan Pintu Air Depok menjadi Siaga 1. Sejumlah sungai pun meluap, termasuk Ciliwung.
Secara total, berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI pada Sabtu (27/4/2019) pukul 06.00, ada 37 titik banjir di Jakarta, terdiri dari 14 titik di Jakarta Selatan, 21 titik di Jakarta Timur, dan 2 titik di Jakarta Barat.
Salah satu area yang terdampak banjir tersebut adalah RW 007 Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Ketua RW 007 Abdul Madjid (65) mengatakan, pada banjir hari Jumat, tinggi air mencapai 1,5 meter dari muka lantai rumahnya dan pada hari Sabtu sekitar 1 meter.
Banjir sebesar itu jarang dialaminya. ”Tahun 2007 kena, setelah itu tidak ada lagi yang besar,” ucap Madjid.
Ia berharap, pemerintah dan Pemprov DKI melanjutkan program normalisasi seperti yang sudah berjalan di RW 001 hingga RW 003 Kampung Melayu. Sejumlah warga di ketiga RW itu direlokasi ke rumah susun dan risiko banjir pun menurun. Ketika itu, warga yang tinggal di pinggir Sungai Ciliwung di RW 004-RW 008, direncanakan juga direlokasi untuk normalisasi sungai.
Menurut Madjid, warganya sudah siap jika memang harus direlokasi, tetapi program penataan kemudian tidak jelas setelah gubernur berganti. ”Jika pemprov tidak mau relokasi, kasihlah uang kerahiman,” ujarnya.
Warga RW 007 yang tinggal sekitar 3 meter dari bibir sungai, Sunarto (42), mengaku siap jika program relokasi benar berjalan. Meski demikian, jika bisa memilih, ia tetap ingin tinggal di sana.
”Saya sejak kecil sudah terbiasa menghadapi banjir. Tidak masalah,” katanya. Lokasi Kampung Melayu yang strategis membuat keluarga Sunarto betah.
Sebelumnya, ahli lanskap kota dan pegiat Peta Hijau Nirwono Joga mengatakan, baik naturalisasi maupun normalisasi, pertama-tama sungai dan bantaran di Jakarta harus ditata. Sebab, masalah sungai Jakarta adalah penyempitan parah karena banyak diokupasi permukiman.
Pengerukan sungai dan relokasi hunian yang melanggar aturan bantaran mutlak diperlukan. Saat ini, lebar sungai di Jakarta rata-rata menyusut dari sekitar 50 meter menjadi hanya menjadi 15 meter.
”Mau tak mau harus dilakukan pelebaran yang artinya juga harus ada relokasi warga dari bantaran kali,” katanya beberapa saat lalu.
Naturalisasi ataupun normalisasi sungai bukanlah dua konsep yang perlu dibenturkan untuk masalah banjir Jakarta. Sebab, akar masalah penataan bantaran sungai justru jauh lebih mendasar dari dua konsep itu.