Penganiayaan terhadap bayi KQS oleh ayahnya MS (23), didasari motif hubungan keluarga yang tidak harmonis. MS selama ini menerima hubungan pernikahannya secara terpaksa. Hal ini pula yang membuat MS selalu bersikap keras kepada istri dan anaknya.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penganiayaan terhadap bayi KQS oleh ayahnya, MS (23), didasari motif hubungan keluarga yang tidak harmonis. MS selama ini menerima hubungan pernikahannya secara terpaksa. Hal ini pula yang membuat MS selalu bersikap keras kepada istri dan anaknya.
Kepala Polsek Metro Kebon Jeruk Ajun Komisaris Erick Sitepu mengatakan, MS mengakui sejumlah tindak kekerasan pada KQS. Saat bayi berusia tiga bulan itu ditinggal ibunya, MS menggigit pipi kiri KQS, lalu memukul muka bayi itu. Kekerasan ini menyebabkan hidung dan bibir KQS luka berat.
”Tidak hanya itu, kaki dan tangan KQS juga dipelintir berulang kali. Menurut keterangan pelaku, ia tidak puas memelintir tangan dan kaki KQS sampai terdengar bunyi seperti patah,” ujar Erick di Polres Metro Jakarta Barat, Senin (6/5/2019).
Kekerasan ini terjadi pada Sabtu (27/4/2019) lalu, saat MS berada di rumah bersama anaknya KQS. Dari keterangan pelaku, Erick mengatakan bahwa penganiayaan itu bukan yang pertama. Sikap keras MS kepada keluarga muncul sejak dirinya menikah dan mempunyai anak.
Erick mengatakan, sikap keras MS didasari ketidaksukaannya kepada KQS. KQS lahir di luar hubungan pernikahan antara MS dengan Siti, istri MS. Saat hamil dua bulan, Siti mengancam untuk menggugurkan kandungan apabila MS tidak menikahi dirinya. ”Pelaku malu bahwa anaknya ini lahir di luar nikah. Ia beranggapan, anak ini akan membawa kemalangan bagi keluarganya bila dipertahankan,” kata Erick.
MS beberapa kali melakukan sejumlah tindak kekerasan kepada KQS. Erick mengatakan, MS pernah berusaha mematahkan kaki dan punggung KQS saat masih berumur satu setengah bulan.
”Saat itu, Siti membawa korban ke rumah sakit. Sepulang Siti dari rumah sakit, MS marah dan meneriaki Siti, kenapa bayi itu harus diobati?” kata Erick.
Komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati, mengatakan, terdapat kesalahan pola asuhan dalam hubungan keluarga KQS. Kesalahan dalam kasus ini bahkan sudah terjadi sejak keluarga terbentuk melalui pernikahan.
Ai menilai, pihak ayah dan ibu telah kehilangan sensitivitas untuk melindungi anak. Tidak hanya MS sebagai pihak ayah yang melakukan tindak kekerasan, pihak ibu juga berperan karena melakukan pembiaran.
”Dari KPAI, kami mendorong agar kasus ini terus dikembangkan. Kepada ibu korban, kami berencana untuk memberikan konseling terkait pengasuhan anak,” ucap Ai.
Dari tes urine, Erick menyatakan bahwa MS positif mengonsumsi narkoba jenis sabu. Menurut dia, hal ini juga menjadi faktor pendukung adanya tindak kekerasan yang dilakukan MS. Terkait hal ini, polisi masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
”MS diketahui menggunakan narkoba sejak 2017. Untuk penyelidikan lanjutan, kami menyita sejumlah barang bukti untuk penyelidikan lanjutan. Ada bantal, sprei, selimut, baju dari ibu kandung, jilbab, serta baju dan celana tersangka,” ungkapnya.
Erick mengatakan, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan secara Sengaja atau hingga Menyebabkan Luka Berat, dan dikenai Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pelaku dapat dikenai hukuman pidana maksimal hingga 15 tahun.