Kepala dan Bendahara Puskesmas Divonis Mengganti Rp 474 Juta
Kepala Puskesmas Botolinggo, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Toni Bagus dan bendaharanya Sutarti dipidana denda Rp 50 juta subsider sebulan kurungan. Mereka terbukti bersalah menggunakan sebagian dana kapitasi jasa pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tidak sesuai peruntukan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Kepala Puskesmas Botolinggo, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Toni Bagus dan bendaharanya Sutarti dipidana denda Rp 50 juta subsider sebulan kurungan. Mereka juga divonis mengganti Rp 474 juta setelah terbukti bersalah menggunakan sebagian dana kapitasi jasa pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tidak sesuai peruntukan.
Terdakwa tidak dipidana dengan hukuman penjara. Namun, mereka diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 474 juta dalam waktu sebulan. Pembayaran uang pengganti itu senilai dengan dana kapitasi jasa pelayanan yang digunakan terdakwa selama kurun waktu 2014 hingga 2018.
Putusan dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang diketuai I Wayan Sosiawan dalam sidang lanjutan, Senin (6/5/2019). Pembacaan putusan dihadiri terdakwa didampingi kuasa hukumnya serta jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Bondowoso.
Terdakwa tidak dipidana dengan hukuman penjara. Namun, mereka diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 474 juta dalam waktu sebulan.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar Wayan.
Kendati tidak dipidana penjara, vonis itu dinilai memberatkan. Oleh karena itu, terdakwa Toni dan Sutarti menyatakan pikir-pikir. Mereka akan menggunakan waktu selama tujuh hari untuk berunding dengan kuasa hukumnya dalam menentukan sikap apakah menerima putusan atau menolak dan mengajukan banding.
Dalam materi putusannya, majelis hakim menyatakan sependapat dengan dakwaan jaksa bahwa terdakwa telah merugikan negara sebesar Rp 474.305.427. Kerugian itu dihitung berdasarkan dana jaspel yang dipotong selama kurun waktu 2014-2018. Namun sesuai fakta persidangan, terdakwa Toni maupun Sutarti tidak menikmati uang tersebut untuk kepentingan pribadi.
Selain jaspel untuk mereka juga dipotong, uang yang terkumpul digunakan untuk kepentingan puskesmas di antaranya membayar tenaga honorer, membiayai proses akreditasi puskesmas, dan kepentingan sosial seperti menjenguk pegawai yang sakit. Pemotongan dana jaspel dilakukan karena dana operasional puskesmas dianggap tidak mencukupi.
Sementara itu, jaksa dari Kejari Bondowoso Sujanto menyatakan pihaknya juga pikir-pikir menanggapi putusan majelis hakim. Alasannya, putusan itu lebih ringan dari tuntutan yang diajukan yakni menghukum terdakwa dengan pidana penjara setahun dan pidana denda Rp 50 juta. Selain itu kedua terdakwa dituntut membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 474 juta.
Pada saat bersamaan, Kepala Desa nonaktif Katerban, Kecamatan Baron, Nganjuk, Muhammad Subur divonis empat tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. Terdakwa terbukti bersalah korupsi program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) atau proyek operasi nasional agraria (Prona) 2017.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai Rohmad menyatakan, terdakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa bersama-sama dengan perangkat desa telah memungut uang Rp 1 juta kepada pemohon sertifikat prona. Padahal program itu gratis karena telah dibiayai pemerintah pusat.
Terdakwa beralasan uang Rp 1 juta digunakan mengurus dokumen kelengkapan program prona seperti pengukuran tanah, surat riwayat tanah, pembelian patok atau pembatas bidang tanah, hingga foto kopi dokumen kependudukan. Namun berdasarkan fakta persidangan, biaya mengurus kelengkapan dokumen yang masuk ke panitia hanya Rp 250.000.
Terdakwa bersama-sama dengan perangkat desa telah memungut uang Rp 1 juta kepada pemohon sertifikat prona. Padahal program itu gratis karena telah dibiayai pemerintah pusat.
Dari Rp 1 juta, sebanyak Rp 700.000 masuk ke kantong pribadi kades dan Rp 50.000 untuk sekretaris desa. Sisanya, Rp 250.000 untuk panitia pengurusan prona. Total ada 1.400 bidang tanah di Desa Keterban yang masuk dalam program sertifikasi prona tahap I dan tahap II di Desa Keterban.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Nganjuk Eko Baroto mengatakan masih pikir-pikir karena terdakwa juga menyatakan pikir-pikir. Dalam sidang sebelumnya, jaksa menuntut terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp 50 juta. Tidak ada pidana tambahan membayar uang pengganti dengan pertimbangan terdakwa tidak merugikan negara melainkan merugikan masyarakat.