Kolaborasi Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil Melahirkan Perempuan Kritis
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Perempuan di akar rumput sering dipandang sebelah mata, serta dianggap tidak berdaya. Di Nusa Tenggara Barat, terutama di Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara pandangan tersebut kini perlahan-lahan sirna. Karena semenjak tiga tahun terakhir perempuan-perempuan di daerah tersebut, menjadi bagian yang menentukan arah pembangunan di daerahnya.
Semenjak ada sekolah perempuan di beberapa desa, yang dimulai pada tahun 2015, cara berpikir perempuan-perempuan di desa berubah. Sekolah informal yang diikuti ibu-ibu rumah tangga tersebut, membuat mereka tidak lagi pasif atau menonton proses pembangunan di desanya. Kesadaran kritis mereka pun tumbuh. Mereka terlibat aktif di desanya, melindungi perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, serta mengawasi program-program bantuan pemerintah serta layanan kesehatan bagi masyarakat.
Bahkan ibu-ibu rumah tangga yang dahulu hanya diam, kini bersuara lantang, membawa aspirasi masyarakat lapis bawah ke pemerintah mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga kabupaten, dan provinsi. Di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara, sekolah perempuan menggelar musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) perempuan.
Kehadiran sekolah perempuan akhirnya mendapat perhatian mereka. Tak cuma mendengarkan aspirasi mereka, pemerintah kabupaten mereplikasi sekolah-sekolah perempuan yang awalnya diinisiasi oleh Institut KAPAL Perempuan(Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan) dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) NTB. Sekolah perempuan didukung program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Jender).
“Metode pemberdayaan perempuan melalui sekolah perempuan melahirkan perempuan akar rumput yang tidak sempat menempuh pendidikan yang relatif cukup, namun mampu berjuang untuk kesetaraan dalam pembagian peran di rumah tangga. Mereka mengawal kasus-kasus KDRT, mengkritisi pelayanan publik yang belum baik,” ujar Yuni Kurniati Maesarah, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lombok Utara (KLU), Senin (29/4/2019).
Metode pemberdayaan perempuan melalui sekolah perempuan melahirkan perempuan akar rumput yang tidak sempat menempuh pendidikan yang relatif cukup, namun mampu berjuang untuk kesetaraan dalam pembagian peran di rumah tangga.
Dan yang terpenting adalah perempuan-perempuan tersebut kini memiliki daya juang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan potensi yang mereka punya. “Sebelumnya tidak percaya diri, sekarang mereka sangat percaya diri dan kritis menyuarakan kebutuhan mereka dari rumah tangga sendiri, desa, sampai di kabupaten,” ungkap Yuni.
Hadirkan perubahan
Perubahan besar dari perempuan-perempuan juga disertai semangat dan aksi untuk turut serta dalam pembangunan di daerahnya, ramai-ramai mendaftar untuk ikut pendidikan kesetaraan jender, melaporkan dan mengawal kasus KDRT, mencegah perkawinan usia anak. Bahkan, mereka kini memiliki kreativitas untuk memanfaatkan lahan untuk kebutuhan pangan.
“Kita awalnya kesulitan menemukan bentuk, bagaimana sih supaya perempuan di akar rumput bisa diberdayakan secara konkret. Bentuknya bagaimana, pendekatan seperti apa? Karena kami melihat kegiatan pemberdayaan perempuan sulit mencapai akar rumput. Dari situlah kami melihat program yang dikawal KAPAL perempuan yang membangun kesadaran kritis perempuan di tingkat bawah. Bagi kami itu sangat penting,” ujar Yuni.
Di sekolah perempuan, yang mayoritas pesertanya ibu-ibu rumah tangga, mendapat pendidikan informal serta pembekalan berbagai pengetahuan dan informasi melalui materi kesetaraan jender, seksualitas dan kesehatan reproduksi, pemetaan persoalan perempuan, kepemimpinan perempuan, penguatan organisasi, penguatan ekonomi perempuan, dan advokasi.
Saraiyah (47) dan ratusan ibu di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, KLU misalnya. Semenjak aktif di sekolah perempuan mereka hadir memberi perubahan di desanya. Berbagai program pemerintah di desanya, termasuk bantuan sosial dikontrol mereka. Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional untuk Penerima Bantuan Iuran (JKN-PBI) juga dipantau. “Sekolah perempuan selalu diundang hadir dalam rapat pertemuan di dusun, desa, kecamatan bahkan sampai kabupaten,” kata Saraiyah Ketua Sekolah Perempuan Sukadana.
Semenjak aktif di sekolah perempuan mereka hadir memberi perubahan di desanya. Berbagai program pemerintah di desanya, termasuk bantuan sosial dikontrol mereka.
Direplikasi pemda
Replikasi sekolah perempuan pun masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara. Pelaksanaan sekolah perempuan di desa-desa dianggarkan di Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
Wakil Direktur Program LPSDM Ririn Hayudiani, menyebutkan sejak 2014 sekolah perempuan sudah hadir di Kabupaten Lombok Timur, yang dimulai di tiga desa yakni Montong Betok, Pijot, dan Ketapang Raya. Mulai tahun 2019, Kabupaten Lombok Timur menganggarkan untuk program replikasi sekolah perempuan, di 10 desa yang diintegrasikan dengan program pencegahan stunting.
Di Kabupaten Lombok Utara, program sekolah perempuan masuk dalam sasaran strategis untuk meningkatkan kualitas hidup dan anak. Tahun 2018, sekolah perempuan diselenggarakan di 15 desa dengan alokasi anggaran Rp 700 juta dan tahun 2019 ditargetkan untuk 19 desa dengan anggaran Rp 1,3 miliar.
Ria Apriani, Kepala Seksi Penguatan Kelembagaan Bidang Pemberdayaan Perempuan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KLU menambahkan, selain di desa, pemkab juga menganggarkan APBD untuk sekolah perempuan di tingkat dusun dalam bentuk Kelompok Belajar Komunitas (KBK). Tahun 2018 (15 KBK) dan 2019 (4 KBK). Satu KBK anggotanya 30 perempuan. Sebelumnya di KLU sudah ada 23 KBK yang didampingi LPSDM yang menjangkau 461 perempuan.
Sekolah perempuan, menurut Direktur KAPAL Perempuan Misiyah, merupakan salah model pemberdayaan perempuan di kalangan akar rumput melalui proses pembelajaran sepanjang hayat. Tujuannya, untuk mengembangkan kepemimpinan perempuan, agar memiliki kesadaran kritis, kepedulian, solidaritas, kecakapan hidup dan berkomitmen menjadi pelaku perubahan sosial agar terbebas dari kemiskinan.
Sekolah perempuan merupakan salah model pemberdayaan perempuan di kalangan akar rumput melalui proses pembelajaran sepanjang hayat.
Sejak dimulai tahun 2000 sekolah perempuan telah hadir di 24 desa di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, dan Nusa Tenggara Timur. Sekolah perempuan kemudian direplikasi oleh pemerintah daerah. Sampai tahun 2018 sudah ada 54 desa yang mereplikasi sekolah perempuan. Selain di Lombok Utara dan Lombok Timur, sekolah perempuan juga direplikasi di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawasi Selatan, dan Gresik, Jawa Timur.
“Kami semakin optimistis pada perempuan, karena perempuan mempunyai daya meski mereka dikelilingi masalah. Ini membuktikan bahwa membangun dari pinggiran itu bisa dilakukan oleh perempuan yang selama ini tidak punya tempat karena dianggap bukan siapa-siapa,” ujar Misiyah.