JAKARTA, KOMPAS — Evaluasi penggunaan tata ruang lahan agar memasukkan potensi-potensi bencana untuk mengurangi dan menghindari korban jiwa. Sebagian rentetan bencana hidrometerologis yang dipicu hujan berintensitas tinggi serta menimbulkan kerusakan dan korban jiwa tak perlu terjadi apabila tata ruang mempertimbangkan risiko-risiko bencana tersebut.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Saparis Soedarjanto, Sabtu (4/5/2019), di Jakarta, mengungkapkan, sebagian berdasarkan hasil pemetaan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) Kementerian LHK, DAS-DAS di Indonesia memiliki konfigurasi bentang alam dengan tingkat kerawanan tinggi dalam memasok limpasan air. Namun perkembangan penutupan lahan saat ini cenderung meningkatkan tingkat kerawanan yang ada.
DAS-DAS di Indonesia memiliki konfigurasi bentang alam dengan tingkat kerawanan tinggi dalam memasok limpasan air.
“Hal tersebut perlu diperhatikan agar perkembangan wilayah yang terjadi tidak memperburuk keadaan. Pada dasarnya pembangunan wilayah dan perkembangan kota adalah keniscayaan, namun harus memperhatikan pergerakan air agar tidak berbuah bencana,” kata dia.
Karena itu, sejak Maret 2019, Ditjen PDASHL bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Tata Ruang (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) untuk membangun sinergi pengelolaan DAS dan Tata Ruang. KLHK telah memiliki instrumen penilaian tata ruang menggunakan pendekatan bentang alam berbasis DAS dalam pengurangan risiko bencana dan telah menggunakannya dalam revisi tata ruang berbasis pengurangan risiko banjir di Garut, Manado, dan Bima.
Direktur Jenderal PDASHL Ida Bagus Putera Parthama mengatakan, sebagian besar DAS rentan bencana karena topografi, lokasi di atas megathrust dan cincin api, tata ruang dan perilaku pemanfaatan lahan yang berdampak pada kondisi vegetasi, dan curah hujan tinggi. “Kami punya peta rawan banjir dan rawan longsor. Itu bisa jadi masukan perencanaan pembangunan wilayah,” kata dia.
Ia mengatakan kerja sama PDASHL dengan Ditjen Tata Ruang Kementerian ATR diharapkan dapat mencapai solusi permanen bencana hidrometeorologis melalui penyempurnaan atau revisi tata ruang. Berbagai rekomendasi rehabilitasi lahan serta konservasi air dan tanah yang diinternasilisasi dalam rencana tata ruang wilayah tidak mengubah tata ruang. Rehabilitasi tersebut “mewarnai” tata ruang dengan pertimbangan terukur untuk menurunkan potensi limpasan.
Bukan faktor tunggal
Saparis menambahkan, lanskap alam telah menentukan arah pergerakan air dan tempat akumulasinya. Karena itu, manusia agar menyesuaikannya melalui tata kelola lahan dan pemanfaatan ruang. “Bencana hanya ada di persepsi manusia, alam hanya mencari kestabilan semata,” tutur dia.
Lanskap alam telah menentukan arah pergerakan air dan tempat akumulasinya. Karena itu, manusia agar menyesuaikannya melalui tata kelola lahan dan pemanfaatan ruang.
Ia mengatakan banjir di berbagai daerah akhir-akhir ini seperti di Madiun-Jawa Timur, Sentani-Jayapura, Singkil-Aceh, Gowa-Sulawesi Selatan, Dompu-NTB, Bengkulu, dan Wonosari-Gunung Kidul tak lepas dari faktor intensitas hujan sangat tinggi. Namun hujan bukan faktor tunggal, tetapi terdapat peran penting bentang alam dalam alih ragam hujan menjadi aliran, termasuk dampaknya terhadap banjir.
Selain itu, lanjutnya, fakta lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kerawanan longsor yang tinggi pada bentang alam Nusantara ini. Selain menyebabkan pendangkalan dan menimbun apapun yang ada di bawahnya, longsor juga berpeluang menyumbat alur-alur sungai di bagian hulu dan membentuk bendung alami yang labil karena tidak terkonsolidasi.
Frekuensi kegempaan yang tinggi dan tersebar hampir merata akibat posisi Indonesia yang dikelilingi cincin api (ring of fire) meningkatkan ketidakstabilan bendung alami. Banjir bandang Wasior beberapa 2010 serta Wajo dan Sentani beberapa waktu yang lalu diakibatkan bendung alami jebol menjadi banjir bandang dahsyat yang meluluhlantakkan permukiman serta ruang aktivitas manusia di bawahnya dengan korban jiwa yang sangat besar.
Frekuensi kegempaan yang tinggi dan tersebar hampir merata akibat posisi Indonesia yang dikelilingi cincin api (ring of fire) meningkatkan ketidakstabilan bendung alami.
Menegasikan potret bentang alam dalam memilih lokasi permukiman menimbulkan kesalahan fatal yang mematikan. Hal tersebut terjadi di Sentani sebulan yang lalu. Betapa tidak, permukiman dibangun tepat di tekuk lereng kaki perbukitan terjal Cagar Alam Pegunungan Cycloop yang sangat rawan longsor.
Bendung-bendung alami tidak stabil di bagian hulu Cycloop jebol membawa air bah menghantam permukiman tepat di bawahnya. Karenanya, ia heran permukiman dibangun di tempat tersebut.
Cycloop tersusun atas batuan metamorfik yang sangat tidak stabil. Walaupun kondisi hutannya masih sangat baik, namun karena kombinasi sifat materialnya yang berpotensi longsor, faktor lereng yang sangat terjal, serta curah hujan tahunan yang relatif tinggi, banjir bandang pasti mengancam.
Ia juga mencontohkan banjir bandang di Bengkulu 10 hari yang lalu juga menyiratkan kekurangjelian memilih ruang bermukim dan aktivitas publik. Lokasi tersebut merupakan dataran aluvial berupa rawa yang berdasarkan konfigurasinya pasti menampung berbagai material dari hulu. Daerah itu juga terpengaruh oleh apa yang terjadi di pantai, termasuk banjir rob, sehingga disebut aluvio-marin.
Di saat aliran dari hulu begitu tinggi dan pada waktu yang bersamaan terjadi banjir rob, penggenangan dahsyat tak terelakkan. Aliran air sangat tinggi karena luas hutannya 20 persen dari luas DAS dan didominasi pertanian lahan kering campur dengan komposisi 84 persen, kegiatan pertambangan seluas 717 ha (atau 7 persen), sisanya 9 persen berupa permukiman dan semak belukar. Kombinasi salah tata kelola di bagian hulu, kesalahan tata ruang dan faktor alam karena bentang alam menjadi penyebab yang mematikan.