Kayat ditangkap KPK di halaman PN Balikpapan, Jumat lalu. Ia diduga menerima uang Rp 100 juta sebagai imbalan atas putusan bebas bagi Sudarman, pengusaha yang menjadi terdakwa perkara pemalsuan surat. Kayat adalah hakim ke-25 yang kasus korupsinya ditangani KPK sejak 2004.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kayat, hakim Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, yang menjadi tersangka dugaan penerimaan suap pemalsuan surat, diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung pada Senin (6/5/2019). Mahkamah Agung juga akan memeriksa atasan langsung Kayat atas dugaan tidak memenuhi kewajiban pengawasan dan pembinaan.
Berdasarkan Keputusan Ketua MA Nomor 78/KMA/5C/V/2019 yang dibacakan Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, di Gedung MA, Jakarta, Senin (6/5/2019), Kayat yang menjabat hakim Pengadilan Negeri Balikapapan diberhentikan sementara terhitung mulai 3 Mei 2019. Dengan pemberhentian tersebut, sesuai dengan peraturan yang berlaku, Kayat mendapatkan uang pemberhentian sementara sebesar 50 persen dari penghasilan jabatannya.
Kayat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi di halaman PN Balikpapan, Jumat lalu. Ia diduga menerima uang Rp 100 juta sebagai imbalan atas putusan bebas bagi Sudarman, pengusaha yang menjadi terdakwa perkara pemalsuan surat. Kayat adalah hakim ke-25 yang kasus korupsinya ditangani KPK sejak 2004.
Meski Kayat masih berstatus tersangka, hampir pasti perkara akan lanjut ke tingkat berikutnya. KPK tidak memiliki wewenang untuk menghentikan penyidikan (SP3). Meski demikian, MA hanya dapat menghentikan Kayat sementara. Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, pemberhentian tetap hanya dapat dilakukan oleh presiden.
Kepercayaan publik
Andi mengatakan, pemberhentian sementara adalah upaya MA untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia.
Menurut Andi, MA telah melakukan pembinaan dan menciptakan sistem untuk meningkatkan integritas peradilan Indonesia, termasuk melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 8/2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.
”Ketua pengadilan negeri yang melakukan pengawasan tidak maksimal itu juga akan ditindak. Ini bukti keseriusan kita,” kata Andi.
Berdasarkan Pasal 9 Perma No 8/2016 tersebut, pengawasan dan pembinaan oleh atasan langsung yang tidak maksimal dapat berujung sanksi pada atasan tersebut. Bentuk sanksi tersebut antara lain teguran lisan, penundaan kenaikan gaji berkala, hingga penurunan pangkat.
Andi menyebutkan, sistem tersebut bertujuan untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya suap dan jual beli perkara. Namun, tidak dapat dimungkiri, lanjutnya, ada faktor integritas dari individu yang terlibat.