Menjalin Hubungan dengan Muslim Uyghur
Beberapa ormas Islam bersama Majelis Ulama Indonesia melakukan kunjungan selama seminggu ke provinsi otonom Xinjiang, China, terutama ke kawasan yang dihuni oleh kaum Muslim Uyghur.
”Selain untuk bersilaturahmi dengan sesama umat Muslim, kunjungan ini juga merupakan respons kami atas berbagai informasi dan tudingan persekusi, penindasan, serta pembatasan kebebasan beragama yang dialami umat Muslim Uyghur di Xinjiang.
Semoga kami mendapatkan fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Muhidin Junaedi dalam pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk China Jauhari Oratmangun di Beijing, Selasa (20/2/2019) malam. Muhidin memimpin rombongan dari MUI serta dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan beberapa ormas Islam lain yang berjumlah 20 orang.
Selain berbagai pemberitaan, terutama dari media barat, selama ini Majelis Ulama Indonesia juga menerima informasi, jurnal, dan selebaran tentang sisi negatif kebijakan Pemerintah China terhadap umat Muslim Uyghur di Xinjiang. ”Isinya tentang persekusi, pembunuhan, penangkapan, dan penahanan dalam kamp-kamp indoktrinasi,” ujar Muhidin.
Xinjiang adalah provinsi otonom terbesar di China dengan luas 1,8 juta kilometer persegi atau seperenam wilayah China. Dari 21 juta penduduknya, mayoritas warga provinsi itu adalah etnis Uyghur (45,8 persen), yang serumpun dengan bangsa Turki yang bermigrasi ke wilayah barat laut Mongolia. Selain bahasa yang sama sekali berbeda dengan mayoritas etnis di China, etnis Uyghur adalah etnis beragama Islam terbesar di China.
Dalam sejarahnya Xinjiang diwarnai konflik panjang yang berkaitan dengan munculnya gerakan separatis. Pemberitaan tentang gerakan separatis dan persekusi warga Uyghur sudah bertahun-tahun mewarnai kisah tentang Xinjiang di media barat.
Meski sebagian masyarakat sudah bereaksi melakukan protes dan unjuk rasa, MUI tidak mau terburu-buru bersikap sebelum ada klarifikasi. ”Jangan sampai kita mudah terpengaruh oleh informasi dari media barat. Apalagi di era perang dagang seperti sekarang, kita harus mencegah dipermainkan oleh informasi salah demi kepentingan negara tertentu. Apalagi sebagian informasi tentang Muslim Uyghur itu didapat dari para diaspora atau orang-orang Uyghur yang hidup di luar negeri,” ujarnya.
Upaya melakukan konfirmasi direspons oleh Pemerintah China dengan mengundang MUI dan ormas Islam untuk berkunjung ke Xinjiang. ”Kami berharap bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama. Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, secara moral kita wajib membantu mereka jika memang ada masalah,” ujar Muhidin.
MUI menghargai Pemerintah China yang membuka diri dengan mengundang ormas-ormas Islam Indonesia melihat langsung kondisi di Xinjiang.”Kami bukan tim pencari fakta karena memang bukan itu maksudnya. Kami lebih mengartikan undangan ini sebagai keterbukaan dan ajakan untuk mengembangkan rasa saling percaya,” ujar Imam Pituduh, Wakil Sekjen PBNU.
Pada prinsipnya MUI ingin menyebarkan pemahaman bahwa radikalisme, ekstremisme, apalagi terorisme, bukanlah jalan Islam. ”Kami siap membantu atau ikut menyebarkan wajah Islam yang lebih damai, Islam garis tengah yang selalu ditunjukkan Indonesia selama ini,” ujar Muhidin.
Pada saat yang sama, Pemerintah China juga mengundang beberapa media dari Indonesia dan Malaysia melakukan kunjungan jurnalistik ke Xinjiang dalam rombongan terpisah.
Hubungan langsung
Duta Besar RI untuk China Jauhari Oratmangun mendukung upaya MUI bersama ormas Islam Indonesia menjalin hubungan langsung dengan umat Muslim Uyghur di Xinjiang. ”Hubungan antarmasyarakat, antarbangsa akan menjadi landasan kuat bagi hubungan antar-pemerintah,” ujarnya.
Hubungan antarmasyarakat akan memperkuat kerja sama antara Indonesia dan China yang beberapa tahun terakhir meningkat. ”Tahun lalu volume perdagangan kita meningkat 31 persen menjadi 7,2 miliar dollar AS. Investasi China dan Hong Kong di Indonesia sudah masuk peringkat ke-2 setelah Singapura. Wisatawan China yang datang ke Indonesia sudah 2 juta orang per tahun,” ujar Jauhari.
Secara terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Muslim China Abdul Amin Jin Rubin membantah adanya pembatasan kebebasan beragama dan halangan, baik dalam melakukan ibadah maupun syariat Islam, bagi umat Islam di Xinjiang, provinsi otonom di sebelah barat China, seperti diberitakan media barat. Terjadinya kekerasan dan bentrokan antara pemerintah dan sebagian warga Uyghur tidak menyangkut prinsip-prinsip kebebasan beragama.
”Yang terjadi adalah upaya pemerintah menghadapi sebagian orang yang bukan cuma melakukan gerakan separatis, melainkan juga melakukan aksi radikal, ekstrem, dan kegiatan terorisme,” ujar Abdul Amin ketika menerima wartawan dari Indonesia dan Malaysia di kantornya di Beijing.
Aksi terorisme yang diklaim sebagai bentuk jihad, menurut Abdul Amin, menunjukkan ada kesalahan interpretasi atau penyelewengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. ”Islam tidak mengajarkan kita melakukan pengeboman demi memperjuangkan sesuatu. Islam juga tak membenarkan kita untuk bunuh diri. Itu kesalahan menafsirkan Islam yang justru harus kita perbaiki bersama.
Tafsir Islam yang damai dan toleran itulah yang sedang dikerjakan dan disebarkan oleh para imam dan ulama di China,” ujar Abdul Amin. Selain beberapa kerusuhan antaretnis dan aksi teror berupa pengeboman, beberapa warga Uyghur juga diketahui bergabung dengan kelompok teror di Poso (Indonesia), Filipina selatan, Thailand dan beberapa negara kawasan Timur Tengah.
Pembangunan digenjot
Saat ini, di Xinjiang ada ribuan warga Uyghur menjalani pembinaan yang dilakukan pemerintah. Menurut Abdul Amin, ini merupakan bentuk pelatihan vokasi yang sah untuk memberikan keterampilan bagi warga agar bisa lebih aktif terlibat dalam pembangunan.
Xinjiang adalah salah satu kawasan di China yang digenjot secara masif pembangunannya sebagai salah satu titik lintasan Jalur Sutra. ”Pelatihan vokasi itu, menurut saya, efektif bukan saja untuk menambah keterampilan, melainkan juga mengalihkan ajakan menyesatkan dari para ekstremis di Xinjiang,” ujar Abdul Amin.
Islam sudah berkembang dan umatnya sudah hidup berdampingan dengan agama lain di China sejak abad ke-7, jauh lebih lama dibandingkan dengan kawasan lain di Asia, termasuk Indonesia. Perkembangan paling pesat terjadi di era Dinasti Yuan pada tahun 1271 hingga 1368 sehingga ada 10 etnis China yang memeluk agama Islam.
Komunitas terbesar pemeluk Islam di China adalah warga Uyghur di Xinjiang yang secara etnis memang merupakan salah satu suku bangsa Turkistan. ”Itu sebabnya ketika asosiasi Islam China dibentuk, pemimpin pertamanya, Burhan Al Syahido, adalah tokoh Uyghur,” ujar Abdul Amin.
Kini pemeluk Islam di China jumlahnya sekitar 23 juta orang dengan jumlah masjid sebanyak 35.000 bangunan. ”Kami memiliki 57.000 imam dan ulama, 720 organisasi agama, serta 10 institut agama Islam,” kata Abdul Amin.
Panjangnya sejarah penyebaran dan pengembangan agama Islam juga telah membentuk karakter Islam China yang unik dan khas. Namun, sejauh ini tidak pernah ada masalah yang dihadapi umat Islam dalam menikmati kebebasan beragama. ”Masjid buka setiap hari tanpa ada halangan untuk beribadah.
Makanan halal bisa didapatkan di mana-mana dan kian pesat berkembang dengan dorongan pemerintah,” ujarnya. Abdul Amin menolak mengomentari permintaan Pemerintah Turki agar pusat-pusat pelatihan vokasi yang dinilai sebagai kamp pendidikan paksa dan indoktrinasi itu ditutup oleh Pemerintah China.