Pelari Maraton Ultra Hendra Siswanto, Tubuhnya Seperti Mesin
Bagi Hendra Siswanto (39, pelari maraton ultra, tubuh ibarat mesin. Layaknya mesin mobil atau sepeda motor, kemampuan organ terutama jantung bisa ditingkatkan atau “dimodifikasi” melalui program latihan dan konsumsi nutrisi.
Hensis, sapaan akrab lelaki 39 tahun itu memakai pendekatan sport science untuk menjadi pelari maraton ultra atau jarak ekstrem. Meski sederhana, alumni Institut Bandung itu membuat penghitungan program latihan yang presisi dan disiplin dalam konsumsi makanan minuman. Hasilnya cespleng, Kompas Tambora Challenge 2019–Lintas Sumbawa 320K dilahap dalam waktu 55 jam 56 menit atau lebih cepat 6 jam 30 menit dari rekor sebelumnya.
Nyaris tiada yang “menyoroti” Hensis saat kembali turun di kategori inividu putra Lintas Sumbawa 320K pada 1-4 Mei 2019. Dengan badan kecil, kurus, bobot 50 kilogram, dan usia hampir 40 tahun, ia kalah meyakinkan dibandingkan dengan juara 2015 Alan Maulana (33) dan juara sekaligus pemegang rekor 2018 William Beanjay (33).
Itu masih ditambah dengan kegagalan menjadi juara di edisi tahun lalu. Lelaki kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, ini jelas tidak masuk dalam daftar “calon pemenang”. Hensis bahkan cukup diragukan mampu menaklukkan jarak 320 kilometer di ajang lomba lari terjauh sekaligus paling ekstrem di Asia Tenggara itu.
Namun, ia membalikkan prediksi. Wirausahawan ini menjadi pelari pertama yang menyelesaikan setengah rute, atau titik 160 km. Saat itu, pelari yang tinggal di Jakarta ini mengungguli Alan dan William hingga empat jam. Kedua mantan juara itu mendapat masalah. William muntah-muntah di km 30 sementara Alan terkena masalah di kaki di km 110 sehingga lari mereka melamban.
Kendati demikian, meski menjadi yang pertama di setengah rute, para pelari masih tidak yakin Hensis mampu finis di 320 km. Sebab, ayah dari tiga anak itu “ngebut” di awal. Staminanya sempat diyakini akan anjlok di 160 km kedua dengan kondisi rute lebih “kejam” dengan banyak kelokan, tanjakan, dan turunan sekaligus cuaca panas pada siang dan dingin pada malam.
“Saya pikir dia tidak bisa finis. Sudah habis itu. Soalnya dia tadi ngimbangin kecepatan saya. Sedangkan, saya relay (hanya 160 Km) dia harus berlari 320 km,” kata Jumardi, pelari juara relay bersama Oktavianus Quaasalmy mengomentari keberhasilan Hendra Siswanto sebagai pemenang Lintas Sumbawa 320K, Jumat (4/5).
Prediksi itu sekali lagi dimentahkan oleh pria beranak tiga ini. Meski sempat didekati pesaingnya, Rachmat Septiyanto, hingga berjarak 2 km, Hensis menghabiskan sisa 160 km dengan “beringas”.
Sebenarnya ini bukan gambling, ini sudah ada persiapan dan perhitungannya. Meskipun saya juga terdorong karena pesaing-pesaing lain sangat cepat
Pelari kelahiran 8 Januari 1980 ini menyelesaikan lomba dari Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, menuju Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, dengan catatan 55 jam 56 menit. Waktu itu merupakan rekor baru Lintas Sumbawa. Hensis jauh melampaui rekor sebelumnya, 62 jam 26 menit, milik William, yang merupakan saudara iparnya.
Saat tiba di garis akhir, ia terlihat biasa saja. Ia hanya tersenyum sambil mengangkatkan kedua tangannya. Tidak ada selebrasi berlebihan seperti sujud syukur ataupun berteriak sambil melompat kesenangan.
Ternyata, ia sudah mengetahui akan finis dengan waktu sekitar 55-60 jam lewat program latihan terukurnya. “Sebenarnya ini bukan gambling, ini sudah ada persiapan dan perhitungannya. Meskipun saya juga terdorong karena pesaing-pesaing lain sangat cepat.”
Program
Kesuksesan itu berawal dari masa terpuruknya tahun lalu. Saat itu, Hensis bersusah payah saat menyelesaikan Lintas Sumbawa selama 69 jam 30 menit. Jangankan juara, dia nyaris tak mampu menyelesaikan lomba karena kehabisan tenaga tersengat matahari Tana Samawa, julukan Pulau Sumbawa. “Tahun lalu saya menantang diri finis di bawah 60 jam. Tetapi malah hancur berantakan. Saya tidak bisa lari pas panas, butuh 3 jam setiap gerak 10 km. Itu sama saja tidak jalan.”
Permasalahan tahun lalu berawal dari kurangnya persiapan dan perhitungan. Bekas pegawai perusahaan energi Chevron itu kemudian belajar dari kesalahan. Dia mempersiapkan formula baru berlari dengan pendekatan sport science.
Sejak awal 2019, Hensis memulai program latihan 300 km dalam lima hari.
Setiap hari, ia berlari mengelilingi Tugu Monumen Nasional sampai sejauh 60 km. Catatan waktu 7 jam termasuk waktu total berhenti sekitar 30 menit. Jumlah waktu itu dipertahankan dalam hari kedua dan seterusnya. Jika memungkinkan, capaian dipertajam dan dipertahankan.
Yang utama adalah konsisten. Kalau hari ini cepat tetapi besok ternyata bikin kaki sakit dan malah catatan waktu menurun itu tidak bagus
“Yang utama adalah konsisten. Kalau hari ini cepat tetapi besok ternyata bikin kaki sakit dan malah catatan waktu menurun itu tidak bagus,” ujarnya.
Latihan maksimal 60 km per hari tidak ditambah. Ia meyakini itulah batas latihan. Jika berlebih, tubuh bisa cedera dan malah mengganggu program. Dibantu dengan alat pemantau kecepatan dan detak jantung, Ia dapat mengetahui seberapa capaian lari untuk jarak 10 km dan kelipatannya sampai 320 km.
Ia juga membuka kembali catatan waktu saat berlari tahun lalu di Lintas Sumbawa. Hensis membuat tabel catatan waktu capaian tercepat pelari untuk 160 km pertama dan 160 km kedua. Angka-angka kemudian diturunkan dalam program latihan.
Hasilnya diuji dalam ajang Titi Ultra Maret 2019 di Malaysia. Untuk lomba di kategori 250 km, ia sukses meraih podium ketiga. Dengan catatan waktu di ajang itu kemudian disimulasikan pada jarak 320 km, ia membuat target menyelesaikan Lintas Sumbawa dalam waktu 55 jam dan 55 menit. Hasilnya hanya meleset satu menit, yakni 55 jam 56 menit.
Tubuh mesin
Hensis mengibaratkan tubuhnya seperti mesin. Filosofinya, tubuh dapat selalu meningkat jika terus dilatih dengan kapasitas kondisi masing-masing. Ia mulai menekuni lari pada 2014. Saat itu, dia diminta berolahraga oleh sang dokter karena kolesterolnya sangat tinggi.
“Setelah mulai berlari. Kolesterol baiknya naik. Kolesterolnya tidak bisa turun seluruhnya karena sudah genetik. Tetapi karena ada dampak baiknya ya sudah saya lanjutkan."
Progres itu membuat saya berpikir tubuh ini seperti mesin yang bisa upgrade
Dia juga begitu menikmati beberapa kemajuan lainnya. Pada 2014, detak jantungnya masih 180 kali per detik. Setahun kemudian, detak jantungnya menurun menjadi 160 kali per detik. “Progres itu membuat saya berpikir tubuh ini seperti mesin yang bisa upgrade,” tuturnya.
Hensis mengatakan, tujuan utamanya berlari bukan mengejar podium ataupun meraih uang hadiah. Dia mengikuti lomba untuk meningkatkan terus kemampuannya. Belajar dari kesalahan dan memperbaikinya. Hobi lari Hensis semakin menarik karena didukung istri dan tiga anaknya. Mereka selalu menemani sang ayah saat berlatih di Monas sebelum lomba.
Yang terang, dengan program latihan yang dijalani dengan disiplin, ia dapat naik podium di dua ajang. Ia berencana melebarkan ambisi untuk terjun di ajang serupa yakni Spartathlon di Yunani untuk kategori lari 250 km. Selepas menjadi raja baru Lintas Sumbawa, ia bersiap dengan program pelatihan baru untuk Spartathlon. (ZAK/RUL)
Hendra Siswanto
Lahir: Banyuwangi, 8 Januari 1980
Istri:
Patricia (38)
Anak:
- Disa gracelyn (11)
- Reina Graciela (8)
- Gavin Nathaniel (6)
Pendidikan:
- SD Katolik Santo Petrus, Banyuwangi, Jawa Timur
- SMP Katolik Santo Aloysius, Banyuwangi, Jawa Timur
- SMA Katolik Santo Paulus Jember, Jawa Timur
- Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat
Prestasi:
- Pemenang ketiga Titi Ultra 2019, Malaysia
- Juara Kompas Tambora Challenge 2019 – Lintas Sumbawa 320K, Nusa Tenggara Barat