Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy merasa perbuatannya menerima "hadiah" dari pejabat tinggi Kementerian Agama di Jawa Timur tidak merugikan negara dan bukan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy merasa perbuatannya menerima "hadiah" dari pejabat tinggi Kementerian Agama di Jawa Timur tidak merugikan negara dan bukan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang. Berdasarkan hal itu, ia menilai penetapan statusnya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menyalahi ketentuan dan tidak sah menurut hukum.
Demikian salah satu alasan permohonan praperadilan Romy dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/5/2019). Sidang dipimpin oleh Hakim Tunggal Agus Widodo. Adapun Romy tidak dihadirkan dalam persidangan ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Romy bersama Haris Hasanuddin selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Timur dan Muhammad Muafaq Wirahadi selaku Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik dan tiga orang lain dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah hotel di Jawa Timur, Jumat (15/3/2019) pagi. Dalam kegiatan itu, KPK juga menyita uang berjumlah total sekitar Rp 150 juta.
KPK menetapkan Romy sebagai tersangka penerima suap. Sementara Haris dan Muafaq ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Dalam kasus tersebut, Romy diduga menerima suap senilai Rp 300 juta guna memuluskan seleksi jabatan Haris dan Muafaq yang merupakan dua pejabat tinggi Kementerian Agama di Jawa Timur periode seleksi 2018/2019.
Romy disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
"KPK tidak berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dalam perkara Romy. Meskipun Romy adalah penyelenggara negara menurut hukum, akan tetapi tidak ada kerugian keuangan negara paling sedikit Rp 1 miliar sesuai ketentuan undang-undang," ucap Penasihat Hukum Romy, Maqdir Ismail dalam pembacaan permohonan praperadilan.
Pasal 11 UU KPK berbunyi KPK mempunyai wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah).
Maqdir melanjutkan, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak pernah menerima uang dari Muafaq sejumlah Rp 50 juta. Uang yang berada di dalam goodie bag hitam itu diberikan kepada Amin Nuryadi. Amin merupakan staf Romy dan bukan penyelenggara negara. Oleh karena itu, Romy merasa bahwa KPK tidak berwenang untuk melakukan penyidikan pada perkaranya.
Semena-mena
Romy juga mempersoalkan proses penyelidikan dan penyidikan oleh KPK. KPK melakukan penyadapan atau merekam pembicaraan sebelum terbit surat perintah penyelidikan sehingga proses itu tidak memiliki dasar hukum dan ilegal.
Maqdir menyebutkan, dugaan ini muncul atas pertanyaan dari penyidik KPK dalam pemeriksaan M Muafaq. Saat itu, penyidik menanyakan tentang kedatangaan Hasanuddin ke rumah Romy di Jalan Batu Ampar, Condet Jakarta Timur pada 6 Februari.
Maqdir merujuk pada Surat Tanda Penerimaan Uang/Barang Nomor STPD.EK-226/22/03/2019. Dalam surat itu tertera bahwa pada 15 Maret telah terbit Surat Perintah Penyelidikan, yaitu Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Sprin.Lidik-l7/01/02/2019 6 Februari 2019 dan Surat Perintah Tugas Nomor: Sprin.Gas-l9/20-22/02/2019 6 Februari 2019.
"Tidak diketahui surat perintah penyelidikan tersebut diterbitkan untuk menyelidiki siapa dan dalam perkara apa. KPK telah melakukan penyadapan tidak menurut hukum dan telah menyalahgunakan kewenangan secara semena-mena," katanya.
Selain itu, tidak pernah ada percakapan atau komunikasi antara Romy dengan Muafaq sampai terjadinya OTT pada 15 Maret. Muafaq meminta nomor ponsel Romy saat pertemuan itu. Berdasarkan hal tersebut, Romy menyadari bahwa dirinya tertangkap tangan bukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Maqdir, KPK melakukan prosedur penyitaan barang bukti yang bukan tertangkap tangan atau OTT. "OTT dimulai dengan suatu perencanaan karena akan terjadi tindak pidana dan jika petugas mengetahui akan terjadi tindak pidana, maka menjadi kewajiban petugas menurut undang-undang untuk menyertakan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan," ucapnya.
Penasihat hukum meminta agar hakim mempertimbangkan keabsahan prosedur OTT dan penetapan tersangka Romy serta memerintahkan untuk mengeluarkannya dari Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara Jaksa KPK meminta waktu untuk menanggapi permohonan praperadilan Romy. Sidang berikutnya dengan agenda tanggapan KPK akan berlangsung, Selasa (7/5/2019).