JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif dasar atas ojek daring yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 dinilai cukup memberatkan konsumen terutama kalangan menengah ke bawah. Sejumlah kalangan menilai, pemerintah perlu mengkaji ulang lebih jauh keputusan ini agar bisnis ini dapat tetap berkesinambungan dan tidak merugikan siapa pun.
”Kenaikan tarif ojek daring tentu akan berpengaruh pada pengeluaran masyarakat sebagai pengguna layanan ojek daring. Saat ini saja, dari hasil riset oleh RISED (Research Institute of Socio-Economic Development), biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20 persen bagi pengeluaran konsumen per bulan,” kata ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, di Jakarta, Senin (6/5/2019), dalam diskusi peluncuran hasil survei RISED berjudul ”Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia”.
Survei RISED bertujuan untuk menjawab pertanyaan publik tentang respons konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019. Pelaksanaan survei melibatkan 3.000 konsumen pengguna ojek daring yang tersebar di sembilan wilayah Indonesia.
Wilayah yang dipilih mewakili ketiga zona yang diatur di dalam Keputusan Menteri Perhubungan, antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang. Waktu penelitian dimulai dari 29 April hingga 3 Mei 2019 dengan margin of error survei berada di kisaran 1,83 persen.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019, biaya jasa ojek daring di Zona I yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali dipatok Rp 1.850-Rp 2.300 per kilometer (km). Di Zona II, yang mencakup wilayah Jabodetabek, biaya jasa yang ditetapkan berkisar Rp 2.000-2.500 per km. Adapun di wilayah yang termasuk Zona III, yaitu Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, biaya jasa yang ditetapkan mulai dari Rp 2.100 hingga Rp 2.600 per km.
Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen 7-10 km per hari di Zona I, untuk Zona II berkisar 8-11 km per hari, dan 6-9 km per hari di Zona III. Dengan skema tarif baru, pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000 per hari di Zona I, Rp 6.000-Rp 15.000 per hari di Zona II, dan Rp 5.000-Rp 12.000 per hari di Zona III.
Sejalan dengan itu, Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara menyampaikan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. ”Jangan lupa, tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya, di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-Rp 12.500,” ujarnya.
Beralih moda
Rumayya menjelaskan, dari hasil survei secara nasional, bertambahnya pengeluaran biaya transportasi akan ditolak oleh 75 persen dari responden. Jika dilihat lebih jauh, 47,6 persen responden hanya ingin mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek daring maksimal Rp 4.000-Rp 5.000 per hari. Sementara 27,4 persen responden mengatakan tidak ingin menambah pengeluaran sama sekali.
Dari hasil survei secara nasional, bertambahnya pengeluaran biaya transportasi akan ditolak oleh 75 persen dari responden.
”Rata-rata kesediaan konsumen di luar Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan sebesar Rp 4.900 per hari. Jumlah itu lebih kecil 6 persen dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang sebesar Rp 5.200 per hari,” ujarnya.
Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2 persen konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Faktor tarif menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan ojek daring.
”Sebagai bukti, sebanyak 52,4 persen responden memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lain, seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen,” tuturnya.
Fithra juga menyampaikan hal senada. Menurut dia, kelompok pendapatan menengah ke bawah akan lebih sensitif terhadap kenaikan harga. ”Mereka jauh lebih tidak bisa menerima kenaikan harga, apalagi kalau ada faktor komponen substitusinya (moda transportasi lain),” ucapnya.
Beberapa fakta di lapangan yang ditemukan Fithra juga mengindikasikan demikian. Saat ini sudah mulai ada peralihan masyarakat pengguna ojek daring ke angkutan umum. Sebab, yang biasanya biaya transportasi berkisar Rp 5.000 per hari, sekarang menjadi Rp 15.000 per hari.
Kaji ulang
Terkait penentuan tarif per zona, Rumayya menilai, pemerintah perlu berhati-hati. Sebab, daya beli konsumen di luar Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan pemerintah.
Selain itu, Fithra mengatakan, kenaikan tarif memang dikatakan sebagai upaya pemerintah dalam menaikkan kesejahteraan pengemudi. Namun, di sisi lain, pemerintah seharusnya memiliki sudut pandang helikopter.
”Tidak hanya melihat dari sisi pengemudi, tapi dilihat juga bagaimana dampak terhadap konsumen. Sebab, pada akhirnya akan berdampak juga pada pengemudi, yaitu akan ada potensi kehilangan konsumen yang berujung pada pendapatan pengemudi,” ujar Fithra.
Maka, diperlukan kajian mendalam, khususnya terkait dengan tarif ojek daring. Perlu ada kolaborasi dan diskusi antara pemerintah, pengemudi, pengguna, dan lembaga kajian agar bisnis ini dapat tetap berkesinambungan serta tidak merugikan siapa pun.