Tidak Ada Izin Usaha Baru
JAKARTA, KOMPAS
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen tidak mengeluarkan izin baru pendirian perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. Sebagai gantinya, Kementerian Ketenagakerjaan meningkatkan evaluasi, pengawasan kinerja, dan menindak perusahaan yang terbukti tidak patuh pada perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) menggantikan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (PPTKIS).
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno, Minggu (5/5/2019), di Jakarta, mengatakan, pada 2019 ada sekitar 10 P3MI yang terlibat perkara hukum. Perkara hukum itu didominasi pelanggaran terhadap UU No 18/2017, antara lain memungut biaya penempatan secara berlebihan serta memberangkatkan ke negara terlarang dan kepada pengguna jasa yang tidak semestinya.
Selama April 2019, Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri menemukan sekitar 69 calon pekerja migran Indonesia yang diduga akan diberangkatkan secara ilegal.
Pada 26 April 2019, inspeksi mendadak Kementerian Ketenagakerjaan menemukan 26 calon pekerja migran Indonesia di tempat penampungan milik P3MI di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Tempat penampungan ini tidak berizin. Calon pekerja migran tidak mengantongi dokumen kerja ke luar negeri. Sebanyak 12 orang di antaranya perempuan.
Pada 30 April 2019, Kementerian Ketenagakerjaan kembali sidak ke P3MI di kawasan Condet, Jakarta. Di lokasi itu, ditemukan 43 calon pekerja migran yang akan diberangkatkan sebagai pekerja sektor domestik. Sebanyak 12 orang di antaranya akan diberangkatkan ke Arab Saudi dan 31 orang ke Malaysia. Semuanya tidak memiliki dokumen penempatan sesuai aturan yang berlaku.
”Kami belum memutuskan bentuk sanksi, apakah skors atau pencabutan izin usaha,” ujar Soes.
Cabut izin
Soes memaparkan, pada 2014-2018, ada 444 perusahaan P3MI aktif. Sebanyak 282 perusahaan pernah dijatuhi skors oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan 97 perusahaan dicabut izinnya. Pada periode itu, tidak ada izin pendirian perusahaan baru.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia Bobi Anwar Ma’arif mengatakan, sejumlah P3MI biasa merekrut calon pekerja lebih dulu sebelum ada pembukaan lowongan pekerjaan. ”Surat izin penempatan belum disahkan pemerintah pun, mereka mengumpulkan calon pekerja migran. Dengan kata lain, P3MI menstok. Praktik seperti ini yang menyebabkan calon pekerja tinggal di penampungan dalam hitungan bulan,” ujarnya.
Pencabutan izin usaha terutama dikarenakan melanggar ketentuan perundang-undangan, seperti membebankan biaya penempatan secara berlebihan, menempatkan ke negara terlarang, dan terlibat tindak pidana perdagangan orang.
UU Nomor 18 Tahun 2017 mengamanatkan P3MI menambah modal hingga menjadi sebanyak Rp 5 miliar dan deposito sebagai jaminan perlindungan sampai sebanyak Rp 1,5 miliar. Dalam peraturan terdahulu, yakni UU Nomor 39 Tahun 2004, syarat modal kerja hanya senilai Rp 3 miliar dan deposito jaminan Rp 500 juta. Penyesuaian ini belum kunjung diberlakukan pemerintah.
"Kami membahas rancangan peraturan teknisnya," tambah Soes.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma\'arif mengatakan, sejumlah P3MI biasanya suka merekrut calon pekerja terlebih dulu sebelum ada pembukaan lowongan pekerjaan. Kalaupun sudah ada permintaan pekerjaan baru tetapi belum disahkan kedutaan besar RI, mereka juga berani merekrut.
"Surat izin penempatan belum disahkan pemerintah pun mengumpulkan calon pekerja migran. Dengan kata lain, P3MI melakukan stok. Praktik seperti itulah yang menyebabkan calon pekerja tinggal di penampungan dalam hitungan bulan," ujar dia.
Menurut Bobi, UU Nomor 18 Tahun 2017 mengamanatkan pelatihan kerja bagi calon pekerja migran dilakukan oleh balai latihan kerja pemerintah atau swasta yang telah terakreditasi. P3MI dilarang menampung calon pekerja migran untuk tujuan pelatihan.
Dia berpendapat, peran P3MI masih kuat, terutama untuk urusan penempatan. UU Nomor 18 Tahun 2017 hanya mengeluarkan peran P3MI untuk memberikan pelatihan kerja.
Bobi mencontohkan, beberapa P3MI terlibat praktik jual beli pekerjaan bernilai puluhan juta untuk penempatan ke Taiwan. Biaya pembelian pekerjaan ini ditambah ongkos pemberangkatan yang semuanya dibebankan kepada pekerja. Menurut dia, belum ada tindakan tegas dari pemerintah terkait fenomena itu.
Pengurus Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATKI) Maxixe Mantofa berpendapat, penampungan abal-abal akan selalu ada untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi calon pekerja migran untuk pengguna jasa perserorangan ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Dia menilai hal itu bisa terjadi karena penghentian pengiriman ke Timur Tengah tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"UU Nomor 18 Tahun 2017 belum bisa berjalan optimal karena masih banyak peraturan turunannya yang belum ditetapkan," tutur dia.
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), terkait remitansi PMI, data BNP2TKI menyebutkan, nilainya mencapai 9,42 miliar dollar AS pada 2015. Total remitansi pada tahun berikutnya turun menjadi 8,85 miliar dollar AS.
Jumlah keseluruhan remitansi PMI kembali turun menjadi 8,76 miliar dollar AS pada 2017. Adapun pada tahun 2018, total remitansi melonjak naik menjadi 10,97 miliar dollar AS.
Mengutip data BNP2TKI pula, pengaduan permasalahan yang dialami PMI selalu berkisar di atas 4.400 kasus per tahun sejak 2015 hingga 2018. Jenis masalah yang biasa diadukan yaitu gaji tidak dibayar, sakit, tidak berdokumen, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, dan mendapat kekerasan dari majikan. (MED)