Saat roda-roda industri Kota Batam mulai melambat, banyak mimpi yang ikut lenyap. Penutupan pabrik-pabrik beberapa tahun belakangan berujung gelombang pemutusan hubungan kerja. Menanggalkan seragam buruh, sebagian terpaksa mengais sampah demi menyambung hidup.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Saat roda-roda industri Kota Batam mulai melambat, banyak mimpi yang ikut lenyap. Penutupan pabrik-pabrik beberapa tahun belakangan berujung gelombang pemutusan hubungan kerja. Menanggalkan seragam buruh, sebagian terpaksa mengais sampah demi menyambung hidup.
Matahari tegak lurus dengan langit. Seorang perempuan berjalan limbung diempas angin berdebu menyusuri Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur, Batam, Kepulauan Riau, Senin (6/5/2019). Dengan susah payah, ia menyeret sebuah karung menuruni bukit sampah setinggi 20 meter.
Wajahnya lelah menanggung beban karung seberat 50 kilogram itu. Butiran keringat memenuhi wajah. Lelah dan lapar, akhirnya ia duduk beristirahat di kaki bukit sampah itu.
Dari sebuah ransel biru, ia keluarkan bekal makanan. Hari itu segumpal nasi dan secuil ikan. Dengung ribuan lalat tak dihiraukan saat santap siang di antara gunungan sampah.
”Satu karung ampas (sampah makanan) itu laku Rp 20.000 untuk pakan babi. Sehari saya harus bekerja sekitar 9 jam untuk bisa dapat empat karung ampas,” kata Septiani (30), sambil melahap makan siangnya.
Artinya, pendapatannya memulung sekitar Rp 80.000 per hari atau Rp 2,4 juta dalam sebulan jika bekerja tanpa libur. Jumlah itu tetap jauh di bawah Upah Mininum Kota Batam yang mencapai Rp 3.806.358 per bulan.
Septi terpaksa bekerja memulung sisa makanan setelah kontrak kerja suaminya di sebuah perusahaan di Nongsa diputus setahun silam. Sampai saat ini, sang suami belum juga berhasil mendapat pekerjaan tetap yang bisa menghidupi ketiga anak mereka.
”Sekarung ampas itu kalau dijual bisa cukup untuk ngasih makan satu anak. Kalau dapat empat karung ampas berarti makanan untuk tiga anak dan saya sudah aman. Suami biar cari (makan) sendiri,” kata Septi.
Di TPA Punggur, ada ratusan orang yang menggantungkan hidup dari memulung sampah. Setiap pagi hingga sore, mereka memadati lokasi itu untuk berebut rejeki setiap kali truk sampah menumpahkan muatannya.
”Tempat ini enggak kalah ramai sama Bantargebang. Hampir semua jenis sampah laku dijual,” kata Ama Kale (40) sambil tertawa.
Pria asal Nusa Tenggara Timur itu bercerita, sebelum menjadi pemulung ia pernah beberapa kali bekerja di berbagai macam perusahaan di Batam. Cerita Ama sama dengan kisah suami Septi. Ia berujung ke TPA Punggur setelah kontraknya tak lagi diperpanjang oleh perusahaan tempatnya bekerja.
”Para pemulung ini semua perantau. Waktu masih muda, mereka kerja di proyek atau perusahaan, tapi ketika tua akhirnya mereka dibuang dan jadi pemulung,” kata Ama.
Waktu pertama kali datang ke Batam pada 2012, Ama membayangkan bisa mendapat pekerjaan tetap di kota itu. Namun, empat tahun berselang akhirnya ia menyerah setelah berkali-kali pindah bekerja karena kontraknya tiba-tiba diputus.
”Saya sudah masuk kepala empat, perusahaan pasti memilih karyawan kontrak lebih muda. Daripada setiap hari bingung nyari kerja, saya milih memulung saja,” tutur Ama.
Catatan Kompas, dari 2014 hingga 2015 saja, paling tidak 200.000 orang kehilangan pekerjaan di Batam karena sektor perindustrian melambat. Industri galangan kapal paling banyak memicu pengangguran. Asosiasi Galangan Kapal Batam mencatat, pada 2015 maksimal hanya 50.000 orang yang bekerja di industri galangan kapal di Batam. Padahal, pada 2012 ada 250.000 pekerja (Kompas, 10/9/2015).
Wali Kota Batam HM Rudi pada 2017 pernah menuntut pemerintah pusat segera mewujudkan Kawasan Ekonomi Khusus Batam. Status itu salah satu solusi untuk mengatasi keterpurukan perekonomian Batam yang saat itu mendekati bangkrut. Perekonomian Batam pada 2017 makin memburuk. Dari rata-rata 7 persen, perekonomian Batam saat itu tumbuh kurang dari 2 persen. (Kompas, 10/10/2017)
Tingkat pengangguran di Batam bahkan lebih tinggi daripada tingkat nasional yang kini berada di angka 5,34 persen.
Sebagai kota yang digadang-gadang menjadi ujung tombak pembangunan, tingkat penggangguran di Batam terbilang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat, tingkat pengangguran di Batam berada di angka 7,82 persen.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Harry Azhar Azis, Minggu (5/5), mengatakan, tingkat pengangguran di Batam bahkan lebih tinggi daripada tingkat nasional yang kini berada di angka 5,34 persen.
”Jika tingkat penganggurannya masih tinggi, berarti (Batam) belum bisa disebut sebagai ujung tombak pembangunan Indonesia,” ujarnya.
Batam bukannya tak lagi menyimpan potensi. Kota ini berada di salah satu jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia. Jangan sampai Batam yang awalnya disiapkan menjadi surga industri berakhir menjadi kota mati. Kuburan bagi orang-orang yang tersisih dan berakhir mengais sampah.