JAKARTA, KOMPAS - Kesiapan menghadapi bencana bervariasi di antara negara-negara di kawasan Asia-Pasifik. Kerja sama antarnegara dinilai penting untuk saling tukar pengetahuan dan praktik pengalaman dalam menangani masalah bencana.
"Variasi kesiapan tergantung negara tersebut dalam melihat bencana sebagai sesuatu yang harus diatasi dengan baik," kata Vice President for Knowledge Management and Sustainable Development Bank Pembangunan Asia (ADB/Asian Development Bank) Bambang Susantono di Nadi, Fiji, Sabtu (4/5/2019) petang waktu setempat, akhir pekan lalu.
ADB memiliki beberapa studi terkait hal tersebut. Setiap kali musim topan di Filipina, misalnya, ada jalur topan yang dapat diketahui, disimulasikan, dan mendorong semua pihak bersiap.
Di daerah-daerah yang biasanya dilalui topan akan ada prediksi-prediksi sehingga masyarakat dapat bersiap. Pembacaan atas kecenderungan simulasi topan itu juga bisa dipakai dalam menentukan langkah antisipasi.
"Misalnya, di daerah-daerah tertentu drainase harus cukup lebar. Pelabuhan juga harus punya pemecah gelombang yang cukup untuk mengatasi gelombang tinggi," kata Bambang.
ADB menengarai efek perubahan iklim - termasuk angin siklon, kekeringan, dan banjir - akan berdampak pada orang, komunitas, dan pembangunan sosial ekonomi. Menurut Bambang, hal penting adalah agar peringatan dini soal bencana dapat sampai kepada masyarakat. Selanjutnya masyarakat tahu mengenai langkah yang harus diambil dan seluruh elemen dalam komunitas saling menjaga.
Diwawancarai secara terpisah saat di Fiji akhir pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ADB termasuk cepat sekali membantu Indonesia saat terjadi bencana di Palu dan Lombok, beberapa waktu lalu.
Secara umum Sri Mulyani mengatakan ada dampak ekonomi dari setiap bencana alam. Perhitungan Badan Kebijakan Fiskal menggambarkan bahwa estimasi dampak kerugian akibat bencana alam setiap tahun antara Rp 22 triliun hingga Rp 23 triliun.
"Selama ini mekanisme APBN kita adalah menyediakan dana kontinjensi. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan ini bukan cuma untuk bencana alam," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, pihaknya kemudian berpikir bahwa Indonesia seharusnya mulai memikirkan untuk menggunakan mekanisme asuransi. Apalagi industri asuransi di Indonesia selama ini terlihat masih belum berkembang bagus.
"Dari sisi financing, perbedaan dari dekade sebelumnya, yang kita lakukan adalah lebih ingin mengintrodusir prinsip-prinsip asuransi. Tapi pasti dilemanya nanti di pembayaran premi yang cukup tinggi," katanya.
Apalagi dalam hal ini yang terjadi adalah membagi risiko secara jauh lebih terkelola. Jadi bukan mengalihkan risiko karena industri asuransi juga tidak akan mengambil sesuatu yang berisiko tanpa ada premi.
"Jadi poin pertama adalah melibatkan asuransi. Termasuk yang sudah kami lakukan di 2019 ini; yaitu semua barang atau aset milik pemerintah sekarang diasuransikan," ujar Sri Mulyani.
Dia menuturkan melalui asuransi tersebut bangunan-bangunan pemerintah yang rusak akibat bencana alam dapat diperbaiki lebih cepat, tidak perlu menunggu mekanisme APBN. Ada harapan agar para bupati, walikota, dan gubernur pun mulai sadar dalam mengelola persoalan bencana secara lebih teratur dan jelas. "Dan nanti ada implikasi anggarannya. Selama ini dana transfer sangat besar ke daerah. Mungkin dari dana transfer itulah kita akan mulai mengintrodusir pooling fund. Sekarang ini semua berasal dari pemerintah pusat," katanya.
Dia menuturkan, pooling fund ini semacam asuransi. Dana dikumpulkan dari daerah-daerah, baik yang memiliki risiko kecil terkena bencana kecil hingga berisiko besar. "Nanti daerah yang terkena bencana bisa mengambil dari dana tersebut. Ini sama kayak prinsip asuransi, tapi dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
Terkait pengelola dana tersebut, dia menuturkan, Badan Kebijakan Fiskal sedang mendesain. Kemungkinan pada tahap awal wadahnya seperti badan layanan umum.
Sri Mulyani mengatakan, dirinya sedang meminta pengalaman dari negara-negara lain, seperti di Amerika Latin yang dibantu Bank Dunia. Kolombia, Meksiko, Peru, dan Chili yang rawan terhadap gempa bersama-sama bersatu. "Sehingga preminya lebih murah dan frekuensinya juga menjadi jauh lebih spread. Kalau di satu negara kan jadi terkonsentrasi," katanya.(CAS)