Belum Semua Batas Maritim Indonesia Ditentukan, Klaim ZEE Bisa Tumpang Tindih
Oleh
Ayu Pratiwi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Batas maritim Indonesia dengan 10 negara tetangga belum semuanya ditentukan. Penetapan batas maritim perlu kesepakatan antara negara bersangkutan, sehingga memerlukan banyak waktu. Perjanjian batas itu harus sangat hati-hati dirundingkan, karena ketika perjanjian itu resmi disepakati, perjanjian itu akan berlaku selama-lamanya dan tidak bisa diubah.
Ada tiga jenis batas maritim yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yakni laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi ekslusif (ZEE). Negara berhak mengklaim laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pangkal. Selain itu, negara juga berhak mengklaim teritori selebar 200 mil laut dari garis pangkal, yang meliputi permukaan laut (ZEE) dan dasar laut (landas kontinen).
Di area laut yang diklaim itu, negara memiliki hak atas kekayaan alam di sana, dan memiliki kebebasan bernavigasi. Sumber daya wilayah ZEE yang meliput perikanan ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sumber daya wilayah landas kontinen yang meliputi sumber daya mineral ditangani oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Wilayah laut teritorial selebar 12 mil laut dari garis pangkal yang berhak diklaim Indonesia tumpang tindih dengan empat negara yang sama-sama berhak atas wilayah itu. Keempat negara itu adalah Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Untuk wilayah ZEE dan landas kontinen yang selebar 200 mil laut dari garis pangkal yang berhak diklaim Indonesia sementara itu berbenturan dengan klaim sembilan negara tetangga, yakni Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
Indonesia paling aktif
Data dari Kementerian Luar Negeri RI hingga Januari 2019 menunjukkan, ada 55,88 persen dari seluruh panjang batas laut teritorial Indonesia yang belum terselesaikan. Ada pula 45,35 persen panjang batas ZEE dan 29,22 persen panjang batas landas kontinen yang belum tuntas.
Wilayah laut teritorial selebar 12 mil laut yang berhak diklaim Indonesia tumpang tindih dengan empat negara yakni Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Sejak 1969 , Indonesia menyelesaikan 18 perjanjian perbatasan dengan delapan negara tetangga, yang sebagian besar meliput landas kontinen atau meliput dasar laut, sebab negara tidak mau ada konflik terjadi akibat penambangan minyak.
Sebelumnya, nelayan biasanya hanya beraktivitas di wilayah laut teritorial dan jarang ke wilayah ZEE. Sekarang, nelayan sudah bisa menjangkau wilayah laut yang lebih jauh dari darat, sehingga wilayah di mana klaim atas ZEE tumpang tindih semakin mendesak untuk diselesaikan. Di antara negara ASEAN, Indonesia merupakan negara paling produktif dalam menangani isu perbatasan.
Saat merundingkan perjanjian perbatasan maritim, faktor yang dipertimbangkan Indonesia adalah jumlah sumber daya yang berada di wilayah itu, seperti minyak, ikan, juga dari segi navigasi. “Setelah mengumpulkan informasi itu, maka kita akan mengusulkan garis perbatasan yang bisa dijelaskan secara juridis. Kalau tidak ada banyak sumber daya misalnya, kita tidak usah terlalu ngotot (memperjuangkan hak teritorial kita),” ucap Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Damos Agusman ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Ketentuan Juridiksi
Di wilayah yang batas maritimnya belum jelas, terutama di area di mana klaim teritorial sejumlah negara saling tumpang tindih, kegaduhan antara negara terkait dalam mengelola sumber daya berpotensi terjadi. Penegakan hukum, lebih mudah dijalankan apabila batas maritimnya jelas.
“Dengan batas yang jelas, maka penegakan hukum tidak problematik. Pengelolaan sumber daya pun tidak problematik. Kita (Indonesia), kan, memiliki cadangan minyak di wilayah perbatasan. Kalau batasnya jelas, kita kan lebih aman dan nyaman melakukan sesuatu di sana,” ujar Damos.
“Kita juga lebih gampang menegakkan hukum untuk kejahatan transnasional dan perdagangan manusia misalnya, karena jelas juridiksinya. Di area yang batasnya tidak jelas, maka juridiksinya tidak jelas,” lanjut Damos.
Meskipun demikian, kegaduhan tidak terjadi di semua wilayah yang batas maritimnya belum jelas. Indonesia misalnya belum memperoleh kesepakatan batas maritim dengan Timor Leste, namun tidak pernah mengalami konflik dengannya. Konflik yang melibatkan batas maritim juga jarang terjadi dengan Filipina.
Penabrakan kapal
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menekankan pentingnya negosiasi dan menerapkan peraturan sementara (provisional arrangement) di antara negara yang klaim batas maritimnya saling tumpang tindih. Dalam peraturan itu, bisa diatur misalnya bagaimana memanfaatkan sumber daya yang berada di wilayah laut itu.
Hikmahanto mencontohkan, hingga saat ini, Indonesia dan Vietnam misalnya belum memiliki perjanjian batas ZEE atau pun peraturan sementara yang mengatur kegiatan di wilayah yang tumpang tindih itu. “Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap ikan di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya,” ujarnya.
Dalam klaim tumpang tindih itu, kedua otoritas menyatakan diri berwenang melindungi wilayahnya atau kegiatan nelayannya. “TNI AL KRI Tjiptadi-381 menganggap dirinya berwenang melakukan penangkapan terhadap kepal nelayan Vietnam. Namun, di sisi lain, otoritas Vietnam dengan kapal Coast Guard Vietnam (yang mengawal kapal ikan Vietnam) merasa KRI Tjiptadi-381 tidak berwenang melakukan penangkapan. Kemudian, terjadi lah insiden tabrakan kapal TNI AL KRI Tjiptadi-381 dengan kapal Coast Guard Vietnam di Laut Natuna Utara, Sabtu (27/4/2019),” tutur Hikmahanto.
Ia menambahkan, dalam hukum internasional, terlepas siapa yang benar atau salah, pihak yang menyerang terlebih dahulu yang dianggap melakukan tindakan agresi. Kementerian Luar Negeri RI telah memprotes Pemerintah Vietnam atas insiden itu.
“Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan,” ucap Hikmahanto.