Dua dari Tiga Anak Alami Kekerasan Sepanjang Hidupnya
Kekerasan terus membayangi anak-anak Indonesia. Dua dari tiga anak di Indonesia yang berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya baik secara fisik, seksual, maupun emosional.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terus membayangi anak-anak Indonesia. Dua dari tiga anak di Indonesia yang berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya baik secara fisik, seksual, maupun emosional.
Bahkan, 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Selanjutnya, 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik serta 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional.
Fakta tentang kekerasan seksual yang dialami anak-anak Indonesia ditemukan dalam Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018 yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Selasa (7/5/2019), di Jakarta.
Peluncuran SNPHAR 2018 dilakukan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise bersama Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Ali Taher, Sekretaris Menteri PPPA Pribudiarta Sitepu, serta perwakilan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Badan Pusat Statistik, dan lembaga yang terlibat dalam survei.
”Kami meminta perhatian semua. Sebab, hasil survei ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak masuk dalam kondisi extraordinary crime atau kejahatan luar biasa,” kata Yohana.
Kami meminta perhatian semua. Sebab, hasil survei ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak masuk dalam kondisi extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Selain menjadi korban kekerasan, hasil SNPHAR 2018 menunjukkan, anak menjadi pelaku kekerasan. Dari survei ditemukan fakta, 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Sementara pelaku kekerasan seksual, baik kontak maupun nonkontak, yang paling banyak dilaporkan adalah teman atau yang sebaya.
Karena itu, Yohana mengajak semua pihak memberi perhatian dan bekerja sama dalam memerangi kejahatan terhadap anak. Ia menegaskan, kejahatan tersebut tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa ada kerja sama semua pemangku kepentingan, baik antarkementerian/lembaga, aparat penegak hukum, maupun masyarakat, termasuk keluarga.
”Semua pihak harus mengambil peran terhadap upaya perlindungan anak, khususnya mencegah agar anak-anak tersebut tidak menjadi korban ataupun pelaku tindak kekerasan.” kata Yohana.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar dalam laporannya menyatakan, SNPHAR 2018 dilaksanakan untuk mengukur prevalensi tindak kekerasan emosi, fisik, dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, mengidentifikasi faktor risiko dan faktor perlindungan dari tindak kekerasan, serta mendokumentasikan dampak dari tindak kekerasan yang dapat dimanfaatkan untuk upaya pencegahan.
”Survei ini merupakan survei yang dirancang untuk estimasi level nasional dengan target populasinya adalah anak-anak dan remaja berusia 13-17 tahun,” kata Nahar.
SNPHAR 2018 dilakukan Kementerian PPPA bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung, Badan Pusat Statistik, Kementerian Sosial, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gajah Mada, serta Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia.