JK: Pengetahuan dan Kesadaran Masyarakat Paling Utama
Mitigasi bencana terkait erat dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengantisipasi risiko bencana. Namun, itu belum tumbuh dan berkembang secara baik di tengah masyarakat.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mitigasi bencana terkait erat dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengantisipasi risiko bencana. Namun, itu belum tumbuh dan berkembang secara baik di tengah masyarakat.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan, sejauh ini dua hal sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah dampak bencana. Pertama, menggunakan teknologi dalam memperkirakan di mana bisa akan muncul bencana. Masalahnya, kendati peringatan dilakukan dan kewaspadaan ditingkatkan, kapan persisnya bencana tiba tidak bisa diramalkan, khususnya terkait gempa.
”Yang bisa diketahui teknologi ialah bahwa di sini bisa timbul bencana, di sini ring of fire. Tetapi, kapan (gunung) meletus, kapan longsor, tidak ada yang tahu persis. Hanya indikasi saja. Karenanya, ketika hujan lebat, (ada peringatan) hati-hati longsor, banjir. Itu jelas ada peringatan-peringatan oleh BMKG dan BNPB,” tutur Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Adapun langkah kedua yang dilakukan terkait mitigasi bencana adalah pendidikan dan informasi kepada masyarakat. Hal ini terus ditingkatkan dan beberapa pemerintah daerah melakukan pelatihan untuk menyiapkan masyarakat menghadapi kemungkinan adanya bencana.
Kendati demikian, Wapres Kalla mengakui bahwa proses pemahaman dan penyadaran itu tidak bisa instan. Kalla mencontohkan, dalam gempa di Sulawesi Tengah yang juga terjadi likuefaksi, sesungguhnya wilayah-wilayah yang terdampak paling parah sudah beberapa kali mengalami bencana serupa.
”Kita sudah tahu ini daerah ’merah’, tidak boleh (dibangun), tetapi masih banyak yang ngotot mau bangun. Pemerintah juga tegas, tidak boleh,” ujarnya.
Ke depan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat memang menjadi sangat penting. Ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah akan mengakibatkan korban dan dampak bencana menjadi besar. Tidak hanya nyawa yang tak tergantikan, tetapi juga biaya untuk merehabilitasi dan merekonstruksi permukiman dan berbagai fasilitas pascabencana menjadi sangat mahal.
Tahun 2019 saja, seperti dikatakan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, kebutuhan dana yang diajukan untuk pemulihan pascabanjir Sulawesi Selatan selama Januari-Mei 2019 sebesar Rp 1,7 triliun; banjir bandang di Sentani, Jayapura (Papua) Rp 1,7 triliun, dan banjir di Bengkulu Rp 600 milliar.
Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, longsor, dan puting beliung, merupakan kejadian bencana paling sering terjadi dan menimbulkan kematian. Mitigasi bencana masih menjadi pekerjaan rumah di banyak daerah.
”Mitigasi itu pada ujungnya adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat,” tambah Kalla.