Kekuatan Super Membuat Eni Rosita Mencetak "Hattrick"
Tiga kali Eni Rosita (40) menaklukkan Kompas Tambora Challenge – Lintas Sumbawa 320K. Pelari jarak jauh ini kembali menepis keraguan terhadap dirinya sendiri.
Oleh
Kelvin Hianusa dan Ambrosius Harto
·5 menit baca
Tiga kali Eni Rosita (40) menaklukkan Kompas Tambora Challenge – Lintas Sumbawa 320K. Tiga kali pula pelari jarak jauh ini menepis keraguan terhadap dirinya sendiri. Tahun ini, Eni sekali lagi merayakan kemenangan di tengah “neraka” Lintas Sumbawa. Jika kembali turun di edisi tahun depan dan seterusnya, masih mungkin Eni belum tergoyahkan.
Angin begitu kencang saat Eni mendekati garis akhir lomba, di Ndoro Ncanga, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (4/5/2019) dini har. Tubuh kecilnya berlari menantang kepungan angin kencang padang savana kaki Gunung Tambora yang gulita.
Pelari asal Pemalang, Jawa Tengah, ini menyisakan seratus meter dari total perjalanan berlari sejauh 320 km, selama 4 hari 3 malam. Tiba-tiba, Eni meneteskan air mata. Perempuan yang dikenal tegar dan minim drama ini tak sanggup menahan haru. Dia begitu dekat dengan hattrick atau tiga kali beruntun menjadi juara Tambora Challenge 320K setelah juara pada 2017 dan 2018.
“Sempat terharu. Ini pertama kalinya saya seperti ini, sebelumnya tidak pernah. Tetapi, mendekati finis saya langsung buru-buru menghapus air mata. Saya malu terlihat menangis di depan orang,” tuturnya seusai memastikan diri sebagai juara Lintas Sumbawa 320K tahun 2019.
Eni terharu karena tak menyangka berkesempatan juara lagi di ajang lari terekstrem di Asia Tenggara itu. Sebelum lomba, jangankan bermimpi juara, dia bahkan berpikir akan tumbang di 40 km pertama.
Sebulan terakhir, pelari berambut pendek ini berkutat dengan cedera paha kiri. Rasa sakit itu masih menghantui hingga hari pelaksanaan lomba. Karena cedera, persiapannya menjadi minim. “Ratu Lintas Sumbawa” ini hanya berlatih dua kali seminggu, dengan jarak maksimal 20 km. Padahal, peserta lain berlatih 30-50 km per hari selama seminggu. Persiapan semakin kacau dengan rutinitas pekerjaan serta mengurus suami dan kedua anaknya.
Namun, keterbatasan fisik dan persiapan itu seketika musnah saat lomba mulai pada Rabu (1/5) pukul 15.00 Wita di Pototano, Kabupaten Sumbawa Barat. Konsultan perusahaan konstruksi ini mendadak sehat dan prima. “Tidak tahu rasa sakitnya hilang saja. Tiba-tiba tidak kerasa lagi,” tuturnya.
Sepanjang lomba, masalah memang terus menimpanya, mulai perut kembung, kaki lecet (blister), hingga puncaknya mengalami masalah hamstring dan muntah-muntah pada beberapa kilometer terakhir.
Kendati demikian, kepungan rasa sakit tadi justru tak membuatnya goyah. Eni bahkan menjadi yang tercepat di kategori individu putri dengan catatan 61 jam 53 menit. Selain juara, pelari yang tinggal di Tangerang ini memecahkan rekor miliknya sendiri pada 2017 lalu, 63 jam 42 menit.
Sebagai tolak ukur kehebatannya, Eni kerap dipanggil “bang”. Sapaan laki-laki itu diberikan dengan nada hormat karena ia mampu mengimbangi kecepatan pelari putra William, juara tahun lalu. Selain itu, ia juga finis lebih cepat enam jam dari pelari putri lainnya.
Eni itu adalah bakat satu dari sejuta orang. Jarang ada yang seperti dia. Semakin sulit kondisi, dia malah bisa makin kuat
Kehebatannya membuat pemenang ketiga putri, Santih Gunawan, terpukau. “Eni itu adalah bakat satu dari sejuta orang. Jarang ada yang seperti dia. Semakin sulit kondisi, dia malah bisa makin kuat,” ujarnya memuji pencapaian Eni.
Kekuatan super
Seperti itulah sosok Eni. Semakin tertekan dan sulit, dia justru akan lebih jauh melesat. Kalangan komunitas pelari menganalogikan dirinya seperti busur panah, yang terbang jauh setelah menerima tekanan.
Lulusan Universitas Indonesia ini seperti memiliki kekuatan super yang berasal dari pikiran. Ketika dia tertekan, motivasinya akan berlipat-lipat ganda. Motivasi itu mengubah penderitaan karena sakit menjadi merayakan sakit.
Kekuatan itu didapatnya setelah “mimpi buruk” pada Oktober 2016. Saat itu, Eni nyaris lumpuh karena siraman air keras oleh oknum tidak dikenal di ajang lari Mesastila Peaks Challenge, Jawa Tengah. Layaknya pahlawan super, kejadian itu justru membangunkan singa di dalam tubuhnya. Lima bulan setelah tragedi itu, dia untuk pertama kali menjuarai Lintas Sumbawa 2017 dengan kaki yang masih sakit karena belum pulih dari operasi.
Justru saat sehat, Eni seperti kehilangan arah. Pada 2016, dia gagal finis di Lintas Sumbawa. Pada 2018, saat tubuhnya bugar, meskipun juara, waktunya melorot empat jam dari edisi sebelumnya.
Saya terus melatih ketenangan pikiran dengan yoga rutin. Bukan dengan gaya akrobat, tetapi bagaimana menenangkan pikiran dan meningkatkan motivasi
Senjata pikiran ia aktifkan kembali pada 2019. “Saya terus melatih ketenangan pikiran dengan yoga rutin. Bukan dengan gaya akrobat, tetapi bagaimana menenangkan pikiran dan meningkatkan motivasi,” katanya.
Manajemen pikiran itulah yang menopang sekaligus menutupi keterbatasan diri. Dari segi fisik, tubuhnya kering kerontang jauh dari ideal seorang atlet. Dia juga tidak punya strategi khusus seperti Hendra Siswanto, juara putra Lintas Sumbawa, yang berlatih dengan pendekatan sport science.
Eni hanyalah pelari yang memulai hobinya sejak 2015. Dia ketagihan berlari dari tujuan awal untuk kesehatan. “Saya juga bingung Eni bisa begitu kuat, seperti laki-laki. Padahal tubuhnya kurus dan tidak kelihatan ada massa otot,” kata Oktavianus Quaasalmy, pelari veteran Lintas Sumbawa dan juara kategori relay 2 x 160 Km edisi 2017 dan 2019.
Mengatur pikiran
Meski demikian, ada kalanya motivasi dari pikiran itu terhambat ketika fisik tak mampu menahan sakit. Jika kendala itu muncul, Eni menyiasatinya dengan menelepon suami dan anaknya. Kebiasaan ini dilakukannya saat berhenti di check point atau ketika masih berlari.
Setelah telepon, pikirannya bisa kembali lega. Sebab, bebannya cukup berat meninggalkan suami dan anak selama lebih dari empat hari. “Buat semangat. Pas ngeluh bisa semangat lagi. Kemarin anakku ulang tahun 3 Mei, jadi sekalian ngucapin,” ceritanya.
Berbeda dari pelari lain yang menjaga pola nutrisi, Eni cenderung cuek soal makanan. Saat berlari, dia menyukai makanan yang disebutnya “tak berfaedah”. Makanan itu seperti mie instan, cemilan, minuman jeli, dan kacang-kacangan.
“Saya kemarin sempat makan kuah mie instan pakai nasi. Asin-asin gitu kena mecin jadi mengembalikan mood. Lari harus senang dan itu yang saya terus jaga,” sebut pemenang Binloop Ultra Race 2019.
Pasang surut permasalahan pasti akan datang. Namun, hal itu dijadikan Eni pondasi untuk mencari solusi. Seperti yang tercantum dalam bukunya A Story That Says I Survived, dia mengatakan, “Bolehlah kita berhenti sejenak, beristirahat. Namun, jangan berlama-lama, lantaran roda kehidupan akan terus bergulir. Hidup tidak menunggu.” (RUL/ZAK)
Eni Rosita
Lahir: Pemalang, 19 Oktober 1978
Suami: Abdul Aziz Dermawan (26)
Anak: Alethea (9), Theodorus (14)
Pendidikan:
SD Negeri 2 Pemalang
SMP Negeri 2 Pemalang
SMA Negeri 1 Pemalang
Teknik Sipil Universitas Indonesia
Prestasi:
Juara Kompas Tambora Challenge–Lintas Sumbawa 320K 2017, 2018, 2019