Kerja Sama Diputus BPJS Kesehatan, Layanan RS Tetap Diberikan
BPJS Kesehatan memutuskan tidak akan melanjutkan kerja sama dengan rumah sakit yang masa akreditasinya telah habis. Sekalipun pemutusan dijamin tak merugikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, kenyataannya, ada peserta yang dirugikan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan memutuskan tidak akan melanjutkan kerja sama dengan rumah sakit yang masa akreditasinya telah habis. Meski pemutusan dijamin tak merugikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, kenyataannya ada sejumlah peserta yang terimbas dan harus membayar untuk layanan rutin.
”Regulasi akreditasi dibuat agar mutu layanan peserta terjamin, bukan malah mengorbankan peserta. Yang jelas saat ini peserta yang butuh layanan darurat dan rutin seperti hemodialisis (cuci darah), kanker untuk kemoterapi dan radioterapi, HIV, lupus, dan penyakit lain yang bisa mengganggu keselamatan jiwa tetap dilayani,” kata Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief, di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Setidaknya ada 47 rumah sakit mitra BPJS yang masa berlaku akreditasinya habis pada April 2019. Untuk itu, BPJS Kesehatan menghentikan kerja sama dengan rumah sakit tersebut.
Bagi rumah sakit lain yang masa akreditasinya akan habis, Budi berharap agar pihak rumah sakit segera mengajukan pendaftaran survei akreditasi kepada Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dalam siaran pers yang diterima Kompas, menyampaikan, akreditasi rumah sakit penting untuk memastikan pelayanan kesehatan kepada pasien bermutu atau sesuai dengan standar layanan. Karena itu, rumah sakit yang akan habis status akreditasinya hendaknya segera lakukan reakreditasi sebulan sebelum masa berlaku selesai.
”Satu bulan sebelum habis masa berlaku sertifikat akreditasi, rumah sakit harus sudah melaksanakan survei reakreditasi. Untuk pendaftaran survei, sudah diajukan kepada KARS minimal tiga bulan sebelumnya,” katanya.
Kementerian Kesehatan juga mendorong dinas kesehatan di daerah untuk memantau secara rutin status akreditasi semua rumah sakit di wilayahnya. Untuk rumah sakit yang sejak awal belum terakreditasi, Kementerian Kesehatan memberi waktu untuk menyelesaikan proses administrasi sampai 30 Juni 2019. Rumah sakit yang lalai dalam melaksanakan akreditasi tetap dihentikan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Sertifikat akreditasi menjadi salah satu persyaratan yang harus dimiliki fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan.
Adapun Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2019 tentang Rumah Sakit juga mengatur bahwa akreditasi wajib dilakukan rumah sakit secara berkala setiap tiga tahun sekali.
Imbas pemutusan
Sekalipun BPJS Kesehatan menjamin rumah sakit yang diputus kerja samanya akan tetap memberikan layanan darurat atau rutin bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS), kenyataannya, menurut Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Samosir, ada peserta yang terimbas. Ini terjadi di Rumah Sakit Suyoto, Jakarta.
Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit yang kontrak kerja samanya diputus oleh BPJS Kesehatan karena masa berlaku akreditasinya habis. Salah satu pasien cuci darah di rumah sakit tersebut, yang sebetulnya peserta JKN-KIS, terpaksa membayar Rp 1.150.000 untuk layanan cuci darah.
”Masalah akreditasi harusnya jadi tanggung jawab rumah sakit dan BPJS Kesehatan, bukan pasien yang jadi korban. Pasien pun baru tahu bahwa rumah sakit tidak lagi kerja sama dengan BPJS saat tiba di rumah sakit. Kalau begini, keselamatan pasien yang menjadi taruhan,” ujarnya.
Masalah akreditasi harusnya jadi tanggung jawab rumah sakit dan BPJS Kesehatan, bukan pasien yang jadi korban.
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Kuntjoro Adi Purjanto mengatakan, masalah pemutusan sementara kerja sama rumah sakit dengan BPJS Kesehatan, direncanakan akan dibahas dalam rapat dengan Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Selasa (7/5/2019).
”Perubahan aturan jelas tidak masalah, tetapi pastikan aturan tersebut tidak mengorbankan pasien,” ucapnya.
Selain itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengusulkan agar kesempatan yang diberikan kepada rumah sakit untuk mengurus administrasi reakreditasi perlu disamakan dengan batas waktu rumah sakit yang sedang mengurus akreditasi baru. Hal ini mempertimbangkan sumber daya tim survei dari KARS yang terbatas.
”Tentu rumah sakit wajib melakukan akreditasi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan secara berkala. Namun jika kerja sama dengan rumah sakit harus diputus karena masa berlaku akreditasinya habis, sementara rumah sakit ini sudah melakukan pengajuan survei ke KARS, itu menjadi tidak adil. Padahal, pasien di rumah sakit tersebut susah untuk mendapatkan rujukan layanan di rumah sakit lain,” katanya.