JAKARTA, KOMPAS – Kinerja ekspor yang kembali menurun dinilai sejumlah kalangan akan terus berlanjut, bahkan hingga akhir tahun. Untuk menggenjot kinerja ekspor, penguatan sektor manufaktur perlu segera dilakukan.
Data Badan Pusat Statistik atau BPS yang dikutip Kompas pada Selasa (7/5/2019), menunjukkan, nilai ekspor Indonesia Januari–Maret 2019 mencapai 40,51 miliar dollar AS atau menurun 8,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Jika dilihat dari lajunya, ekspor barang dan jasa pada triwulan I-2019 tumbuh negatif 2,08 persen atau lebih rendah daripada periode sama tahun lalu yang tumbuh sebesar 5,94 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, kontraksi laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa memang masih terjadi di triwulan I-2019. Namun, kontraksi ini sudah mulai melambat.
"Tetap terjadi kontraksi tetapi sudah sedikit melambat. Sebab, keadaan ini masih dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global yang terjadi sejak akhir 2017. Ketidakpastian ini menimbulkan perlambatan ekonomi global serta penurunan permintaan negara tujuan ekspor utama," ujar Faisal saat dihubungi di Jakarta.
Pelambatan kontraksi laju ekspor barang dan jasa khususnya terlihat sejak Maret 2019. Faisal menyampaikan, saat itu sudah mulai ada perbaikan dari sisi ekspor, yaitu mencapai 14,03 miliar dollar AS pada Maret 2019, meningkat 11,71 persen dibandingkan ekspor Februari 2019.
Meski demikian, Faisal menilai, sinyal ini belum cukup kuat untuk menyatakan terjadinya perbaikan ekonomi. Pasalnya, tingginya ketidakpastian global masih berpotensi menekan kinerja ekspor. "Potensi defisit pun masih ada meski akan lebih menyempit dibanding tahun lalu," ujarnya.
Saat itu sudah mulai ada perbaikan dari sisi ekspor, yaitu mencapai 14,03 miliar dollar AS pada Maret 2019, meningkat 11,71 persen dibandingkan ekspor Februari 2019.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dam Industri Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyatakan hal senada. Menurutnya, perekonomian mulai menunjukkan perbaikan.
Meski begitu, Shinta menilai, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi tidak bisa banyak diharapkan. "Pertumbuhan ekonomi justru hanya bisa didorong melalui konsumsi dalam negeri, pengeluaran pemerintah, dan investasi dalam negeri," katanya.
Sebab, pada dasarnya industri di Indonesia sehat dan cenderung berkembang. Hanya saja kondisi ekonomi dunia tidak bisa mendukung perkembangan itu secara maksimal.
"Dari sisi eksportir Indonesia, mereka pun sangat mampu untuk mengekspor lebih dan saat ini sedang menanti momen perbaikan ekonomi global. Apabila ada momentum yang dianggap cukup potensial untuk mengekspor, momentum ini akan segera dipergunakan untuk meningkatkan ekspor," tutur Shinta.
Namun, momentum tersebut belum terjadi secara signifikan. Dengan begitu, Shinta mengatakan, kemungkinan di triwulan II pun kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan Indonesia akan tetap kurang apabila dibandingkan dengan faktor-faktor penggerak ekonomi internal.
Penguatan manufaktur
Selain mengandalkan faktor ekonomi internal, Faisal menyampaikan, jika ingin ekspor menguat dan tahan terhadap goncangan eksternal termasuk dampak penurunan komoditas, semestinya sektor manufaktur diperkuat.
"Saat ini, ekspor menufaktur tumbuh tetapi relatif lambat dan pertumbuhannya masih satu digit. Jelas masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pertambangan," kata Faisal.
Artinya, kalau manufaktur masih dalam pertumbuhan seperti ini, ekspor akan terus melemah. Sebab, tidak bisa mengimbangi pelemahan dari harga komoditas global.
"Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah terpilih dalam agenda lima tahun ke depan. Harus menjadikan revitalisasi industri manufaktur sebagai prioritas utama agar mampu tumbuh lebih tinggi," tegas Faisal.