KPK: Permohonan Praperadilan Romy Tidak Tepat
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat, proses penyelidikan dan penangkapan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy sebagai tersangka telah sesuai ketentuan dan sah menurut hukum.
Upaya penyadapan dan penangkapan oleh KPK sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Justru beberapa permohonan Romy tidaklah tepat untuk diajukan di persidangan praperadilan.
Hal itu terungkap dalam sidang praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Agus Widodo, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2019) sore. Hadir mewakili KPK adalah Kepala Bagian Litigasi Biro Hukum Efi Laila Kholis dan jajarannya. Sidang menegaskan, KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki perkara sesuai dengan Pasal 11 UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK menangkap Romy, panggilan Romahurmuziy, bersama Haris Hasanuddin selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Timur dan Muhammad Muafaq Wirahadi selaku Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik, serta tiga orang lain dalam operasi tangkap tangan di sebuah hotel di Surabaya, Jumat (15/3/2019) pagi. Dalam kegiatan itu, KPK juga menyita uang berjumlah total sekitar Rp 150 juta.
Beberapa permohonan Romy tidaklah tepat untuk diajukan di persidangan praperadilan.
KPK menetapkan Romy sebagai tersangka penerima suap. Sementara Haris dan Muafaq ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Dalam kasus itu, Romy diduga menerima suap senilai Rp 300 juta guna memuluskan seleksi jabatan Haris dan Muafaq yang merupakan dua pejabat tinggi Kementerian Agama di Jawa Timur periode seleksi 2018/2019.
Romy disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dalam permohonan praperadilan yang disampaikan pada Senin lalu, kuasa hukum Romy, Maqdir Ismail berpendapat bahwa berargumen bahwa KPK tidak berwenang menyidik Romy. Disebut bahwa Romy tidak menguasai uang sebesar Rp 50 juta secara pribadi yang diberikan oleh Muafaq. Uang tersebut diterima oleh Amin Nuryadi, staf Romy.
Romy juga berargumen bahwa tindakan menerima hadiah tersebut bukanlah tindakan yang merugikan negara dengan jumlah paling sedikit Rp 1 miliar.
Mengenai hal ini, Efi berpendapat bahwa Pasal 11 UU KPK menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Status Romy sebagai anggota DPR memenuhi unsur penyelenggara negara.
Efi juga mengatakan, batasan kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar bukanlah menjadi syarat mutlak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Huruf C UU KPK, batasan ini tidak berlaku untuk delik suap.
“Berdasarkan uraian di atas maka termohon, memiliki kewenangan melakukan penyidikan perkara sesuai dengan Pasal 11 UU KPK,” kata Efi.
Tidak tepat
KPK justru mengajukan keberatan terhadap permohonan praperadilan yang diajukan oleh Romy. Efi berpendapat, dalil-dalil permohonan yang disampaikan Romy di atas mencakup materi pokok perkara dugaan tindak pidana korupsi.
“Seharusnya ini disampaikan pemohon dalam pembelaan atau pledoi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Permohonan yang diajukan merupakan materi pokok perkara yang seharusnya diperiksa, diadili dan diputus dalam persidangan Tindak Pidana Korupsi dan bukan kewenangan persidangan praperadilan,” kata Efi.
Efi juga menyatakan, kegiatan penangkapan Romy beserta Muafaq dan Haris dalam operasi tangkap tangan telah sesuai Pasal 1 Angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menyatakan bahwa penangkapan secara tertangkap tangan dilakukan tanpa surat perintah.
“Tindakan terhadap pemohon bukanlah upaya paksa penangkapan tetapi tindakan tangkap tangan,” kata Efi.
Proses penangkapan tersebut pun, tambah Efi, telah melalui proses penyelidikan awal, sesuai dengan Pasal 102 KUHAP. KPK telah mendapat bukti permulaan yang cukup untuk melakukan tangkap tangan Romy, Muafaq, dan Haris.
Pada permohonan Romy sebelumnya, Romy berpendapat bahwa prosedur tangkap tangan tidak sah karena tidak disertai surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan.
Berwenang menyadap
Efi juga mengatakan, hasil penyadapan atau rekaman pembicaraan yang dilakukan KPK adalah salah satu alat bukti yang sah sebagai bukti permulaan untuk menetapkan Romy sebagai tersangka. Pasal 12 UU KPK menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pasal 5 Ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa penyelidik mempunyai kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
“Dengan demikian maka hasil penyadapan atau rekaman pembicaraan yang dilakukan oleh termohon pada tahap penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan merupakan salah satu dari alat bukti yang sah yang dapat untuk menetapkan status tersangka,” kata Efi.
Ia juga mengatakan surat perintah penyelidikan telah terbit pada tanggal 6 Februari 2019. Sebelumnya, Romy berpandangan bahwa KPK menyadap atau merekam pembicaraan sebelum terbit surat perintah penyelidikan sehingga proses itu tidak memiliki dasar hukum dan ilegal.