Penanganan gangguan spektrum autisme di Kepulauan Riau masih terkendala jumlah tenaga profesional untuk terapi yang terbatas. Padahal, jumlah anak yang mengantre untuk mendapat terapis cukup banyak. Akibatnya, pelayanan terapi tidak berjalan optimal.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS – Penanganan gangguan spektrum autisme di Kepulauan Riau masih terkendala jumlah tenaga profesional untuk terapi yang terbatas. Padahal, jumlah anak yang mengantre untuk mendapat terapis cukup banyak. Akibatnya, pelayanan terapi tidak berjalan optimal.
Kepala Pusat Layanan Autis (PLA) Kepulauan Riau Riniatun, Selasa (7/5/2019), di Kota Batam, mengatakan, saat ini ada 52 anak yang menjalani terapi dan transisi di tempat itu. Adapun di daftar antrean sudah ada sekitar 80 nama yang mengantre untuk mendapatkan penanganan.
“Untuk menangani 52 anak itu saja kami harus bekerja ekstra. Jadwal dirancang ketat agar semua anak terlayani. Jika hanya menghitung kebutuhan di Batam, sebenarnya tambahan 10 orang terapis sudah cukup melayani seluruh anak dalam daftar antrean,” kata Rini.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 1 dari 160 anak di dunia menderita autisme. Jika digeneralisasi, dari 773.800 anak di Kepulauan Riau bisa jadi 4.836 anak di antaranya mengalami autisme. Mereka membutuhkan terapi agar dapat menjalani hidup secara mandiri.
Terapi yang harus dijalani anak dengan autisme umumnya adalah terapi sensori integrasi, wicara, perilaku, dan okupasi. Jumlah terapis wicara dan okupasi terbatas karena lembaga pendidikan terapis yang kompeten sedikit (Kompas, 10/7/2019).
Rini menuturkan, saat masih dikelola Pemerintah Kota Batam, terdapat 14 terapis yang bekerja di PLA tersebut. Namun, setelah diambil alih Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada 2017, separuh dari jumlah itu mundur karena besaran gaji dirasa tidak sebanding dengan kebutuhan hidup.
Setelah diambil alih Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada 2017, separuh dari jumlah itu mundur karena besaran gaji dirasa tidak sebanding dengan kebutuhan hidup.
“Saat ini saya terpaksa menempatkan satu orang yang sebenarnya guru pendidikan luar biasa menjadi terapis wicara. Kami memang kekurangan terapis, terutama terapis wicara,” kata Rini.
Sejumlah ruangan di PLA Kepulauan Riau memang tampak lengang dan tidak digunakan. Dilihat dari jumlah ruangan yang tersedia, paling tidak bangunan PLA sebenarnya mampu menampung dua kali lipat jumlah anak yang kini ditangani.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau Muhammad Dali mengatakan, sejumlah perubahan terjadi saat perpindahan wewenang pengelolaan PLA dari Pemkot ke Pemprov. Namun, ia meragukan penyebab keluarnya para terapis dipicu persoalan gaji.
“Rasanya kurang tepat kalau penyebab para terapis keluar adalah persoalan gaji. Terapis yang merupakan tenaga non aparatur sipil negara digaji lebih besar daripada guru honorer pada umumnya,” kata Dali.
Ia menyatakan, penanganan anak dengan autisme dan anak berkebutuhan khusus lain mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Dicontohkan, tahun depan, sebuah sekolah luar biasa akan dibangun di Kabupaten Anambas agar semua anak berkebutuhan khusus di Kepulauan Riau dapat terlayani dengan baik.
Antrean anak dengan autisme untuk mendapatkan penanganan di PLA Kepulauan Riau tidak pernah sepi. Bahkan, pada 2017, jumlah antrean pernah mencapai sekitar 250 anak. Namun, dari daftar nama itu, semuanya merupakan anak yang berdomisili di Batam.
“Kami yang tinggal di Batam sebenarnya masih beruntung. Anak dengan autisme yang tinggal di pulau lain harus pergi jauh dan bayar mahal untuk dapat terapi seperti di tempat ini,” kata Rana (47), salah satu orang tua murid.
Kami yang tinggal di Batam sebenarnya masih beruntung. Anak dengan autisme yang tinggal di pulau lain harus pergi jauh dan bayar mahal untuk dapat terapi seperti di tempat ini
Ia menuturkan, salah seorang kenalannya di Tanjung Pinang harus membayar Rp 80.000 untuk satu jam terapi di salah satu tempat terapi swasta. Adapun Rana sama sekali tidak dipungut biaya untuk mendapatkan penanganan bagi anaknya di PLA.
Masa penanganan anak dengan autisme di PLA dibatasi selama setahun. Hal itu diterapkan mengingat sudah banyak anak lain yang lama mengantre untuk mendapat penanganan. Oleh karena itu, orangtua dituntut hadir dalam proses terapi agar bisa meneruskan penanganan selepas dari PLA.
“Hal ini perlu ditegaskan karena penanganan di PLA saja tidak akan berhasil jika orangtua tidak mau terlibat. Setiap hari, terapis cuma punya jatah 1 jam, yang 23 jam sisanya anak itu di rumah bersama orangtuanya” kata Rini.