Perkembangan Penanganan Konflik Agraria Dinilai Lamban
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pernyataan Presiden Joko Widodo agar percepatan penyelesaian konflik agraria segera diselesaikan bisa dilakukan bila ada keterbukaan data konsesi hak guna usaha maupun kehutanan. Tanpa keterbukaan data, konflik agraria tidak akan pernah terpecahkan bahkan terus terjadi konflik-konflik baru yang memperumit penyelesaian.
Keterbukaan ini pun menjadi amanat dalam Ketetapan MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang hingga kini belum berhasil dijalankan tiap rezim pemerintahan. Presiden Joko Widodo diharapkan mampu menjalankan Ketetapan MPR itu untuk menyudahi konflik agraria yang acapkali menyengsarakan dan mengkriminalisasi masyarakat.
Demikian tanggapan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait pernyataan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas percepatan penyelesaian masalah pertanahan 3 Mei 2019. ”Saya sampaikan, kalau yang diberi konsesi sulit-sulit (mengelolanya), cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini. Tegas. Demi rasa keadilan dan kepastian hukum, (rakyat) harus dinomorsatukan. Jelas di situ rakyat sudah hidup lama malah kalah dengan konsesi baru yang baru diberikan,” kata Presiden Jokowi (Kompas, 4 Mei 2019).
Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi, Senin (6/5/2019) di Jakarta, mengatakan pernyataan Presiden tersebut bukan hal baru. Seluruhnya, kata dia, pernah diungkapkan dan intinya tertuang dalam Nawacita pertama pada 2014.
Bahkan, terkait isu agraria ini, Presiden Jokowi telah menerbitkan Rencana Kerja Pemerintah (Perpres 79/2017) dan Perpes No 86/2018 tentang Reforma Agraria. Karena penyelesaian konflik agraria tak berhenti selama empat setengah tahun dan terus terjadi, ia mendesak agar Presiden memimpin langsung hal ini.
“Pernyataan Presiden ini penting untuk ditindaklanjuti dan jangan jadi sekadar wacana, maka kami dorong agar Presiden Jokowi memimpin langsung implementasi reforma agraria dan selesaikan konflik,” ujarnya.
Pernyataan Presiden ini penting untuk ditindaklanjuti dan jangan jadi sekadar wacana.
Penyelesaian konflik agraria pada sektor dinilai tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional yang menjadi kunci penyelesaian konflik di perkebunan pemilik HGU, belum mau menaati perintah Mahkamah Agung untuk membuka data HGU.
Keterbukaan data HGU yang telah inkracht diperintahkan Mahkamah Agung ini diperlukan agar masyarakat dan perusahaan sama-sama mengecek batas HGU tersebut. Kalau data ini tak dibuka, masyarakat yang memiliki daya acapkali kalah oleh perusahaan pengelola kebun yang memiliki modal dan relasi kekuasaan/keamanan.
Selain itu, hingga kini amanat Perpres 79/2017 terkait Rencana Kerja Pemerintah 2018 yang dalam lampiranya menugaskan kegiatan prioritas Kementerian ATR BPN untuk menerbitkan paket regulasi penyelesaian konflik. Selanjutnya, dalam Perpes 86/2018 tentang Reforma Agraria, diitegaskan lagi agar Menteri ATR BPN terbitkan aturan setingkat menteri terkait penanganan konflik agraria.Tapi, kata Boy, perintah presiden ini tak dikerjakan.
Menjalankan ketetapan
Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi mengatakan Presiden Joko Widodo memiliki tugas menjalankan Ketetapan MPR IX/2001 yang gagal dijalankan rezim-rezim sebelumnya. Ketetapan MPR tersebut akan sangat membantu Presiden bila serius ingin menyelesaikan konflik agraria.
Tap MPR ini lahir dari kesadaran harus ada transisi politik dari reszim otroiratriaun sentralisitk ke reszim desentralissi yang menjawab pengelolaan SDA. Belajar dari pelaksanaan rezim sebelumnya dan 4,5 tahun Jokowi, kata dia, pelaksanaan Tap MPR masih sektoral sehingga penyelesaian selalu mentok.
“Kalau presiden punya keinginan meneyelesaikan, tapi rezim sektoral tidak diselesaikan, Presiden Jokowi akan hadapi benang lebih kusut karena aktornya juga melibatkan aktor korporasi dan elit oligarki,” ungkapnya.
Untuk keluar dari sektoral tersebut, organisasi masyarakat sipil, termasuk Walhi, sejak lama mendesakkan pembentukan kelembagaan khusus reforma agraria yang posisi setingkat menteri dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Langkah ini bertujuan mengatasi egosektoral serta kekakuan birokrasi.
Secara terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan mengatakan manajemen institusi yang sedang dimatangkan adalah menyinergikan Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, dan kementerian lain. Opsi pembentukan lembaga baru tersebut, kata dia, membutuhkan penyediaan sumber daya manusia, anggaran, dan akses yang sangat tinggi.
Ia mengatakan KSP yang bertugas memantau agenda dan program prioritas presiden, sedang membangun sistem agar perkembangan kasus konflik agraria serta pelaksanaan reforma agraria bisa disimak langsung presiden setiap saat. Ia pun meyakinkan isu agraria ini menjadi perhatian Presiden.
Terbukti, penerbitan Perpres RKP dan Perpres Reforma Agraria serta inpres moratorium penerbitan izin perkebunan sawit. “Isu ini tetap berada di tengah dan bukan isu pinggiran. Bahkan di-ratas (rapat terbatas)-kan bukan satu atau dua kali ini saja,” katanya.
Sejauh ini KSP mendapat laporan 559 kasus konflik agraria yang sebagian besar merupakan dampak kebijakan orde baru. Posisi pemerintah saat ini, ujarnya, adalah mengoreksi kebijakan-kebijakan masa lalu tersebut dengan mengedepankan aspek keadilan sosial.
Menurut data Walhi, hingga 2018, terdapat 555 konflik agraria dan sumber daya alam yang dilaporkan kepada KSP. Sebagian besar kasus berasal dari perkebunan (306), kehutanan (163), bangunan (33), infrastruktur (19), transmigrasi (17), dan lain-lain (17). Total luasan area yang dikonflikkan mencapai 627.430 ha dengan melibatkan 106.803 keluarga.