Keterbatasan jumlah pejantan dan betina dewasa mengancam penurunan kualitas genetik anoa yang dikembangbiakkan di penangkaran Anoa Breeding Center (ABC) Manado, Sulawesi Utara.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Pusat penangkaran Anoa Breeding Center Manado salah satu harapan pelestarikan anoa, satwa endemik Sulawesi, yang jumlahnya diperkirakan terus menurun. Saat ini, keterbatasan jumlah pejantan dan betina dewasa mengancam penurunan kualitas genetik anoa yang dikembangbiakkan di penangkaran tersebut.
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin, mengatakan, Anoa Breeding Center (ABC) Manado semestinya lembaga riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, fungsinya kini menjadi pusat penangkaran atau konservasi eksitu.
“Setidaknya, kita masih punya tempat untuk menjaga dan memastikan keberadaan anoa. ABC sangat penting untuk pendidikan bagi warga, supaya jumlah anoa juga bisa bertambah. Ini harus terus diperbaiki dan dikembangkan,” kata John, Selasa (7/5/2019), di Manado.
Salah satu pengembangan yang mendesak adalah penambahan jumlah pejantan atau betina dewasa yang siap beranak. Mengawinkan dua individu dengan kedekatan kekerabatan genetik (in-breeding), kata John, dapat mengakibatkan berkurangnya informasi genetik (genetic drift) pada keturunan. Akibatnya, kualitas individu anoa yang dihasilkan menurun.
“Karena itu, diperlukan individu lain yang diambil dari habitat asli anoa atau dari tempat konservasi lainnya,” ujar John.
Peneliti Madya ABC Irawati Dwi Arini mengatakan, kedekatan kekerabatan menjadi salah satu faktor penghambat pembiakan anoa. Sejak dibuka 2015, ABC hanya punya dua anoa jantan dewasa, yaitu Rambo (8 tahun) dan Rocky (6). Terdapat empat betina dewasa, yaitu Manis (10), Denok (9), Ana (8), dan Rita (6). Semuanya adalah anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).
Tiga anoa telah dilahirkan dari mengawinkan Rambo dengan Denok dan Ana. Manis diperkirakan sedang bunting juga setelah dikawinkan dengan Rambo. Rocky dan Rita belum menghasilkan keturunan.
Seekor betina lain, Stella (5), adalah anoa pegunungan (Bubalus qualersi). Pembiakan hanya dimungkinkan dengan spesies yang sama. Namun, belum pernah dilakukan karena keberadaan anoa pegunungan lain di Sulut tidak diketahui. Pembuahan dari anoa pegunungan jantan dari Sulawesi Selatan sedang dijajaki.
“Pembiakan harus memerhatikan kekerabatan genetik, tidak bisa sembarangan. Karena itu, indukan perlu diperbanyak, misalnya dari bertukar dengan pusat konservasi lain. Akan lebih mudah dengan inseminasi buatan, tetapi anggaran kami tidak cukup untuk menyediakan alat-alat, laboratorium, dan infrastruktur pendukungnya,” kata Arini.
Anggaran tahunan ABC sebesar Rp 54 juta hanya cukup untuk kebutuhan dasar anoa, seperti pakan, mineral, obat-obatan, serta perawatan kandang. Sebagian dana itu untuk mengupah dua penjaga dan pencari rumput. Sumber dana lain untuk memenuhi kesejahteraan satwa endemik itu berasal dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Hendriks Rundengan mengatakan, anoa di ABC nantinya akan dipindahkan ke Cagar Alam Gunung Ambang (Bolaang Mongondow Timur) dan Cagar Alam Tangkoko Batuangus (Bitung) untuk konservasi insitu.
Keberadaan anoa di Cagar Alam Tangkoko Batuangus terakhir kali tercatat pada 1988. Setelah itu, anoa dinyatakan punah lokal di habitat aslinya tersebut. “Sementara di Gunung Ambang, camera trap yang kami pasang di lokasi site monitoring menangkap gambar seekor anoa. Artinya, masih ada anoa di sana,” kata Hendriks.
BKSDA akan mencari anoa tambahan untuk dipindahkan ke dua cagar alam tersebut dari pertukaran satwa dengan kebun binatang atau tempat konservasi provinsi lain. Ia juga berharap ada sitaan atau penyerahan dari masyarakat sekitar yang masih memelihara anoa secara ilegal.
Perburuan
Kendati begitu, pemindahan ke wilayah konservasi insitu meningkatkan risiko perburuan anoa. Apalagi, hampir semua wilayah konservasi di bawah BKSDA Sulut dirambah masyarakat. Jumlah polisi hutan yang hanya sembilan orang untuk 13 wilayah konservasi di Sulut dan Gorontalo mempersulit pengawasan dan penegakan hukum.
Pengembangbiakkan anoa di ABC terancam sia-sia. “Predator utama anoa adalah manusia. Para pemburu bisa memasang ribuan jerat hingga ke tengah hutan,” kata Arini.
Hendriks mengatakan, anoa juga masih kerap diburu warga suku di pedalaman Gorontalo. “Warga yang sudah mengenal dunia luar pedalaman akan menukarkan dengan beras, baju, dan komoditas lainnya,” katanya.
BKSDA Sulut belum memiliki catatan jumlah anoa yang tersisa di Sulut dan Gorontalo. Di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, Gorontalo, tercatat 64 ekor di area 190 hektar (Kompas, 19 Februari 2019). Anoa juga diperkirakan masih ada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam Gunung Ambang meski tak tercatat jumlahnya.
John mengatakan, tidak ada penelitian jumlah anoa yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Namun, penelitian beberapa organisasi konservasi yang diikutinya menunjukkan, jumlah anoa tidak sampai 10.000 ekor. Adapun ABC memperkirakan tingkat perburuan mencapai 300 ekor per tahun di seluruh Sulawesi.
“Masyarakat Minahasa memburu anoa sekadar untuk konsumsi dan sebagai sumber protein. Tidak ada fungsi sosial dari perburuan anoa. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang di Sulut yang warganya terbiasa makan segala jenis daging,” kata John.
Menurut pengamatan John, daging anoa semakin jarang ditemui di pasar tradisional di Tomohon, Langoan, maupun Bolaang Mongondow dalam lima tahun terakhir. Selain karena jumlahnya sudah jauh berkurang, daging anoa mudah diidentifikasi sehingga risiko terpidana lebih besar.