Ratusan Miliar Habis Belum Juga Tuntas
Berkali-kali sudah rumah pasangan Farid (47) dan Ratna (47) di Kelurahan Ternate Tanjung, Kecamatan Singkil, Manado, Sulawesi Utara, dilanda banjir. Namun, mereka memilih bertahan.
Pada banjir bandang tahun 2014, rumah mereka terendam ”lautan” air keruh. Rumah itu berada di tepi sungai, bagian Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano.
Tahun ini saja, tiga kali mereka kebanjiran, terakhir Minggu (28/4/2019). ”Sebelumnya enggak terhitung,” kata Farid di halaman rumahnya yang dijadikan warung kelontong, Jumat (3/5).
Meski rumah itu berdiri di atas panggung beton setinggi 1 meter, banjir terakhir masih lebih tinggi, sekitar 3 meter atau separuh tinggi ambang pintu rumah. Di halaman belakang, pagar seng terbawa arus, berikut alat masak di dapur semipermanen mereka.
Di daerah itu, ada ribuan orang bernasib sama. Mereka didera banjir berkali-kali. Berbahaya, merugikan, dan merepotkan. Namun, tawaran relokasi tak begitu saja diterima. Farid menolak pindah ke perumahan khusus korban banjir di Kelurahan Pandu, Kecamatan Bunaken, sekitar 20 kilometer dari rumah mereka.
Pemerintah Kota Manado membangun 2.054 rumah tipe 36 di daerah perbukitan itu dengan hibah APBN Rp 213 miliar. Tahun 2017, perumahan diresmikan. Kini, ada sekitar 1.600 unit yang dihuni.
Menurut rencana, rumah lama warga dirobohkan, diganti tanggul dan sempadan 7,2 kilometer. ”Saya pernah lihat rumah di sana. Kecil sekali, lebih besar rumah kami yang luasnya 22 meter kali 8 meter. Kalau ada keluarga mau menginap pasti tak akan cukup,” kata Ratna.
Faktor lokasi
Alan (47), tetangga Farid, juga ditawari pindah. Namun, menurut dia, terlalu jauh. Tidak menguntungkan sebagai pengojek daring. ”Lokasinya di bukit. Kalau mau naik tidak bisa boncengan. Motor matik saja sulit menanjak,” katanya.
Jalan menuju perumahan itu melintasi hutan diselingi satu-dua rumah warga. Jalannya menanjak dan berkelok, minim penerangan.
Ratna memilih ganti rugi pembebasan lahan berupa uang dan menentukan sendiri tempat tinggalnya. Namun, tawaran pemerintah dinilainya tak menarik. Pascabanjir 2014, tawarannya Rp 20 juta-Rp 40 juta bagi yang tak ingin relokasi. ”Tidak ada lagi rumah harganya segitu. Ya, sudah, lebih baik kami di sini saja.
Boleh-boleh saja mau merelokasi kami atau ganti rugi, tetapi harus setimpal dengan yang kami punya,” kata Farid. Faktor kenyamanan dan kekerabatan juga penting. Yayan (19), pemuda Ternate Tanjung, mengatakan, warga biasanya mengungsi ke lantai atas jika banjir. Setelah itu, bersih-bersih. ”Apa pun yang terjadi, kami tidak akan meninggalkan kampung tercinta,” katanya.
Kontras dengan suasana Ternate Tanjung dan Ternate Baru, perumahan relokasi tenang dan sepi. Beberapa rumah kosong. Jumat itu, puluhan warga beraktivitas, salah satunya Lady (56).
Ia senang pindah rumah dari Kelurahan Pakowa yang juga di tepi sungai. ”Pemerintah sudah menyediakan rumah. Pilih uang atau rumah, saya pilih rumah,” katanya.
Hanya saja, Lady berharap pemerintah segera memenuhi kebutuhan air bersih. Pompa di permukiman rusak dua kali. Tembok rumah berupa batako tanpa plester, lantai rumah belum dipasangi tegel. Dapur pun belum dibangun.
Ia masih sering pulang ke Pakowa. Anaknya masih sekolah, sedangkan suaminya yang stroke masih diterapi di sana. Aisyah (33), yang membuka warung makanan ringan, mengaku dua anaknya masih tinggal dengan bibinya di rumah lama untuk bersekolah. Hal itu terpaksa dilakukannya meski rumah baru lebih nyaman ketimbang rumah lama di Kelurahan Paal IV.
Soal fasilitas
Bukan hanya sekolah yang belum berfungsi. Puskesmas pun belum dibuka karena tidak ada pekerja medis. Demikian pula kantor kelurahan. Rumah ibadah sudah tersedia, tetapi belum ada pengurus. Masalah banjir ternyata tak tuntas dengan merelokasi warga dari tepi sungai. Faktor sosial pendukung kehidupan seperti di tempat lama perlu diadopsi dan diwujudkan.
Ahli tata air Universitas Sam Ratulangi, Bart Assa, mengatakan, faktor jarak yang jauh dari kota bisa dimaklumi jika memberatkan warga, apalagi mayoritas korban banjir adalah pedagang. Namun, bagaimanapun, tak mungkin mempunyai rumah yang sama dengan sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah harus segera menyelesaikan pembangunan dan memfungsikan fasilitas lain, termasuk fasilitas air bersih, sekolah, puskesmas, pasar, dan rumah ibadah. ”Pemerintah harus lebih intensif meyakinkan. Saya percaya, mereka mau pindah,” katanya.
Hal yang belum tersampaikan, lahan relokasi Kelurahan Pandu itu potensial. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pembangunan mengarah ke Kecamatan Mapanget yang dekat lahan relokasi. Akses ke area bisnis terbuka lebih lebar.