Cuaca yang tidak menentu berpengaruh terhadap proses produksi sejumlah perajin gerabah dan keramik di sentra keramik dan gerabah Kecamatan Plered, Purwakarta, sejak Maret lalu. Waktu proses pengeringan dan pengolahan bertambah lama menyebabkan penyusutan produksi.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Cuaca yang tidak menentu berpengaruh terhadap proses produksi sejumlah perajin gerabah dan keramik di sentra keramik dan gerabah Kecamatan Plered, Purwakarta, sejak Maret lalu. Waktu proses pengeringan dan pengolahan bertambah lama sehingga terjadi penyusutan produksi.
Pada Selasa (7/5/2019) siang, sejumlah pekerja pabrik di sentra keramik Kecamatan Plered menjemur puluhan pot berukuran sedang di halaman belakang rumah. Mereka tampak sibuk menyusun pot agar terkena panas matahari.
”Kebetulan hari ini panas matahari terik. Kami harus bergegas menjemur semua gerabah. Proses pengeringan ini berpengaruh terhadap hasil pembakaran nanti,” kata Ujang (54), pekerja perajin gerabah.
Menurut Ujang, cuaca tidak menentu ini berlangsung sejak Maret lalu. Terkadang satu hari matahari bersinar terik, tapi keesokan hari hujan deras. Hal itu berimbas pada kadar air gerabah yang tidak menurun cepat sehingga apabila dibakar gerabah menjadi mudah retak.
Gerabah berbahan baku tanah liat itu dibakar dengan suhu 950-1.100 derajat Celsius. Yang membedakan gerabah Plered dengan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, adalah durasi pembakaran. Di Plered, waktu pembakaran 18-24 jam, sedangkan di Bantul 6-8 jam.
Dede (56), perajin keramik lainnya, mengeluhkan hal yang sama. Idealnya gerabah dijemur hingga kering selama maksimal tiga hari. Namun, cuaca yang kian tak menentu seperti saat ini menambah durasi pengeringan menjadi satu minggu.
Kondisi seperti itu menurunkan jumlah produksinya. Ia mencontohkan, setiap minggu ada pesanan untuk gerabah yang mencapai Rp 6 juta per truk. Karena waktu pengeringan lama, pesanan mundur menjadi dua minggu. Selain itu, penyusutan produksi gerabah menurun 10-20 persen.
Penyusutan produksi itu disebabkan kondisi gerabah yang belum kering sempurna. Jika kondisinya tidak kering sempurna, setelah proses pembakaran akan banyak gerabah matang yang retak.
Berdasarkan Data Kantor Litbang Genteng dan Bata Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta, kapasitas produksi keramik dan gerabah tahun 2014 sebanyak 900.000 buah, sedangkan tahun 2015 sebanyak 1.266.000 buah. Jumlah produksi cenderung fluktuatif, pada tahun 2017 menurun menjadi 1.135.000 buah, dan kemudian meningkat menjadi 1.230.000 di tahun 2018.
Kepala Unit Penelitian dan Pengembangan Keramik Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Purwakarta Bambang Mega Wahyu mengatakan, musim hujan dan musim kemarau dapat memengaruhi kualitas dari gerabah. Cuaca terlalu panas bisa membuat gerabah menjadi retak. Hal serupa juga terjadi di musim hujan.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Subbidang Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Agie Wandala menyampaikan, saat ini sebagian besar daerah di Indonesia, terutama Purwakarta, berada di periode peralihan dari hujan ke kemarau. Artinya, kondisi angin dan kelembaban udara masih menunjukkan kondisi atmosfer yang relatif basah.
Meski demikian, beberapa hari terakhir radiasi matahari cukup intens dan pada pagi hari sekitar 32-34 derajat Celsius. Awan yang bisa menghalangi radiasi tersebut sedikit sehingga pasokan radiasi balik dari matahari lebih tinggi. Kondisi tersebut bersamaan dengan peningkatan suhu, tetapi kelembaban udara di permukaan cukup rendah. Oleh karena itu, pada sore hari masih memungkinkan terjadi potensi hujan. Kondisi seperti ini akan berlangsung hingga pertengahan Mei.
Pengeringan gerabah membutuhkan cuaca terik. Agie menyarankan agar pengeringan mulai dilakukan pada minggu ketiga Mei sampai September. ”Kondisi akan kering pada bulan itu sehingga bagus untuk menjemur gerabah,” katanya.