ejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta masih belum menentukan arah koalisi yang akan terbentuk seusai Pemilu Legislatif 2019. Sebagian besar anggota fraksi juga mengungkapkan, koalisi di tingkat provinsi akan lebih cair dibandingkan dengan tingkat nasional.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta masih belum menentukan arah koalisi yang akan terbentuk seusai Pemilu Legislatif 2019. Sebagian besar anggota fraksi juga mengungkapkan, koalisi di tingkat provinsi akan lebih cair dibandingkan dengan tingkat nasional.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Asraf Ali mengatakan, koalisi di tingkat DPRD akan lebih cair dan berjalan situasional. Menurut dia, Fraksi Partai Golkar masih menunggu arahan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar terkait kemungkinan koalisi di tingkat wilayah.
”Pada dasarnya Partai Golkar siap berkolaborasi dengan fraksi lain di DPRD DKI Jakarta, apalagi kami juga memiliki komitmen untuk memajukan Jakarta. Saya rasa semua fraksi memiliki pandangan yang sama terkait hal ini,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Asraf mengatakan, saat ini fraksinya masih menunggu komposisi partai politik yang menduduki dari total 106 kursi DPRD DKI Jakarta periode 2019-2024. Menurut dia, saat ini penghitungan suara di tingkat provinsi masih belum rampung dan menunggu hasil resmi dari KPU DKI Jakarta.
”Golkar juga masih mengincar posisi pimpinan DPRD karena kami masuk dalam lima besar perolehan suara di DKI. Berdasarkan penghitungan sementara, Golkar mendapat 8 kursi dan target kami bisa meraih total 14 kursi,” ucapnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Syarif mengatakan, koalisi di tingkat DPRD akan berjalan lebih fleksibel. Menurut dia, meski di tingkat nasional, parpol terbagi menjadi dua kubu, tetapi hal tersebut belum tentu berlaku di daerah.
”Dalam kerja-kerja politik di parlemen, setiap fraksi harus saling bersinergi dalam rangka membentuk program untuk kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
Bersaing ketat
Syarif memastikan, Gerindra akan tetap masuk dalam jajaran pimpinan DPRD DKI Jakarta. Berdasarkan perolehan sementara, Selasa (7/5/2019), Gerindra memperoleh suara sebanyak 17,37 persen atau sekitar 20 kursi. Perolehan suara ini bersaing ketat dengan PKS, yaitu 17,34 persen.
”Struktur DPRD terdiri dari satu orang ketua dan empat wakil. Kami sudah mengamankan posisi wakil tersebut. Selanjutnya, kami akan terus mendukung program-program yang dijalankan gubernur, khususnya untuk memberikan perhatian kepada masyarakat marjinal yang ada di Jakarta,” ucapnya.
Berbeda dengan Gerindra, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berencana menjadi oposisi bagi Pemprov DKI Jakarta. Menurut Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar, sebagai partai yang baru masuk dalam DPRD DKI Jakarta, PSI akan mengkritik program pemprov yang dinilai tidak berjalan efektif.
”Tentunya kami akan menjadi oposisi yang konstruktif karena kritik yang kita sampaikan sifatnya membangun,” ucapnya.
Berdasarkan penghitungan sementara, PSI memperoleh suara sebanyak 5,88 persen dalam Pemilu Legislatif 2019 untuk DPRD DKI Jakarta. Michael menargetkan, PSI bisa mendapat jatah 8 kursi di DPRD DKI Jakarta.
Mulai terlihat
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, fraksinya juga masih menunggu arahan dari DPP PDI-P terkait proses koalisi di tingkat DPRD. Menurut Gembong, pascapelantikan anggota DPRD yang baru, arah koalisi ini akan mulai terlihat.
”Kalau soal koalisi, kami masih menunggu arahan dari pimpinan pusat. Namun, kalau kolaborasi di tingkat daerah, itu sudah jadi domain partai di tingkat wilayah,” katanya.
Berdasarkan perolehan suara sementara, PDI-P masih menjadi parpol yang mendapat suara tertinggi di DPRD DKI Jakarta dengan perolehan 19,06 persen. Menurut dia, awalnya PDI-P menargetkan untuk mendapat 30 kursi DPRD DKI Jakarta, tetapi hal tersebut sulit tercapai.
”PDI-P memang memiliki basis suara sendiri di Jakarta. Namun, karena jumlah pemilih mengambang (swing voter) di Jakarta cukup banyak, suara-suara partai terpecah ke parpol baru, seperti PSI,” ujarnya.