Presiden Jokowi mematangkan rencana pemindahan ibu kota dengan meninjau calon bakal lokasi penggantinya di Kalimantan. Namun, ketersediaan infrastruktur saja tidak mencukupi.
BALIKPAPAN, KOMPAS - Ketersediaan infrastruktur tak cukup untuk pertimbangan suatu daerah layak dijadikan ibu kota negara atau pusat pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan dari aspek sosiologis dan politik yang perlu dipertajam untuk menguatkan dasar pemindahan ibu kota.
Setelah meninjau kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, Selasa (7/5/2019), sebagai salah satu alternatif bakal lokasi ibu kota pengganti Jakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan, infrastruktur di kawasan tersebut sudah tersedia. Namun, perpindahan ibu kota bukan hanya soal infrastruktur semata.
”Perlu (pertimbangan) sosiologis dan sosial politiknya, ini yang perlu dipertajam. Kemudian urusan lingkungan, pemenuhan kebutuhan air, sisi kebencanaan juga harus dilihat keperluan anggarannya,” kata Presiden Jokowi.
Untuk mematangkan rencana pemindahan ibu kota negara, Presiden Jokowi didampingi sejumlah menteri meninjau bakal lokasi ibu kota yang baru. Selain Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil, juga Sekretaris Kabinet Pramono Anung,
Lokasi pertama yang ditinjau adalah kawasan Tahura Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, yang berjarak 30,8 kilometer dari Balikpapan. Pada Rabu (8/5/2019) ini, Presiden Jokowi dijadwalkan meninjau bakal ibu kota baru lainnya di Kabupatan Pulang Pisau dan Katingan di Kalimantan Tengah. Dua wilayah itu relatif cukup jauh, di atas 80-100 km dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng.
Peninjauan bakal lokasi ibu kota negara itu menunjukkan pemerintah serius merealisasikan rencana memindahkan ibu kota. Hal itu sesuai pernyataan Presiden sebelumnya bahwa pemerintah tak main-main dengan rencana pemindahan ibu kota. Selain intens membahas pemindahan ibu kota dalam rapat terbatas selama 1,5 tahun ini, Presiden Jokowi juga menyampaikan langsung kepada para kepala dan pimpinan lembaga negara saat berbuka puasa hari pertama di Istana Negara.
Setelah melihat lokasi Tahura Bukit Soeharto, Presiden Jokowi menilai, sarana dan prasarana di Kaltim di daerah itu cukup memadai jika dijadikan ibu kota baru. Selain ada bandar udara, juga pelabuhan dan infrastruktur pendukung lain, seperti jalan tol. Kawasan Tahura Bukit Soeharto juga terletak di tengah-tengah Tol Balikpapan-Samarinda.
”Jadi, anggaran untuk membangun infrastruktur bisa dihemat,” tuturnya.
Otonomi bisa lebih kuat
Di Istana Wakil Presiden, Jakarta, menjawab pers, Wapres Jusuf Kalla menyatakan, proses pemindahan ibu kota diharapkan sekaligus juga memperkuat otonomi daerah. Pengurusan izin juga tidak perlu melulu ke ibu kota negara.
Menurut Wapres Kalla, proses pemindahan ibu kota disebut sebagai proses yang memerlukan waktu cukup panjang. Namun, proses ini akan sekaligus memperkuat otonomi daerah. Pemerintah provinsi perlu mengelola kewenangannya ini di masing-masing wilayah. Semestinya, ketika ibu kota dan pusat perekonomian dipisahkan, seperti di New York dan Washington DC, Amerika Serikat, otonomi daerah yang lebih besar dan kuat terwujud.
”Ketika seorang pengusaha akan membangun usaha di sebuah kota seperti di San Francisco, dia tak perlu lagi ke Washington DC untuk mengurus izin,” ujar Wapres Kalla memberi contoh.
Meski demikian, saat ini di Indonesia, untuk membuka usaha di suatu daerah, banyak hal masih harus diurus di Jakarta, seperti persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Jika hal itu masih terus terjadi saat ibu kota pindah ke lokasi baru, kesemrawutan perizinan berulang kembali di ibu kota baru.
Kecuali, tambah Wapres Kalla, enam hal yang menjadi urusan pemerintah pusat sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pertahanan, keamanan, agama, yustisi, politik luar negeri, moneter, dan fiskal.