JAKARTA, KOMPAS — Pemberian umpan balik dari guru ke siswa, siswa ke guru, dan sesama guru dan siswa menentukan terciptanya sistem pendidikan yang baik. Melalui umpan balik dapat terlihat kekurangan dan kelebihan di setiap guru dan siswa sehingga bisa digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang efisien sekaligus memotivasi warga sekolah untuk meningkatkan kinerja.
“Agar bisa memberi umpan balik yang baik kita harus bisa melewati dulu hambatan dari kebudayaan dan relasi kuasa,” kata pakar pendidikan dari Universitas Auckland, Selandia Baru, Mohamed Alansari, ketika memberi pelatihan kepada para kepala sekolah dan guru bimbingan konseling dari 200 SMA dan SMK di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Pelatihan yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Selandia Baru untuk Indonesia ini dilangsungkan di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Ia menerangkan, umpan balik adalah ketika guru tidak sekadar memberi nilai kepada pekerjaan siswa dan menyuruhnya agar rajin belajar. Di dalamnya harus terkandung evaluasi dari kebiasaan siswa di sekolah dan jika bisa di rumah juga. Melalui umpan balik guru mengajak siswa berdiskusi mengenai strategi belajar yang telah ia lakukan dan menelaah apabila strategi tersebut memang tepat, perlu dimodifikasi, atau bahkan ditinggalkan sama sekali karena tidak cocok dengan siswa itu.
Umpan balik adalah ketika guru tidak sekadar memberi nilai kepada pekerjaan siswa dan menyuruhnya agar rajin belajar. Di dalamnya harus terkandung evaluasi dari kebiasaan siswa di sekolah dan jika bisa di rumah juga.
Alansari menyadari kendala utama pemberian umpan balik adalah jumlah siswa yang banyak di dalam satu kelas, misalnya 35 hingga 40 orang. Idealnya, agar guru bisa memantau siswa secara baik, jumlah siswa di dalam satu kelas tidak boleh lebih dari 25.
Apabila sekolah tidak bisa menyediakan ruang kelas dan guru yang cukup, guru berisiko stres menghadapi siswa. Akibatnya, guru bisa menjadi apatis dan memilih mengejar target materi sesuai yang ditentukan buku teks atau memberi evaluasi dan umpan balik untuk setiap siswa sehingga mengorbankan waktu istirahat.
Solusinya adalah dengan menciptakan sistem administrasi pelaporan yang efisien. Misalnya meminimalkan borang yang harus diisi dan mengubahnya ke dalam bentuk digital yang mudah digunakan sehingga tidak perlu ditulis tangan. Solusi kedua ialah menciptakan budaya memberi kritik membangun di sekolah.
“Siswa saling memberi umpan balik mengenai aspek positif dan negatif yang mereka rasakan terhadap teman sekelas. Metode ini sekaligus mengajar siswa berpikir kritis, berempati, dan bisa menyusun kritik yang saling membangun,” kata Alansari.
Selain itu, sesama guru juga hendaknya mulai mengembangkan sistem pemberian umpan balik. Metode yang digunakan di Selandia Baru ialah guru merekam dirinya mengajar dalam satu sesi kelas. Rekaman itu kemudian diputar ketika rapat bersama kepala sekolah dan guru-guru lain. Mereka kemudian saling memberi kritik, saran, pujian, hingga membuat metode baru untuk diterapkan di sekolah tersebut.
Metode yang digunakan di Selandia Baru ialah guru merekam dirinya mengajar dalam satu sesi kelas. Rekaman itu kemudian diputar ketika rapat bersama kepala sekolah dan guru-guru lain.
Terkait hal ini, kepala sekolah harus mampu menempatkan diri tidak hanya sebagai pemimpin dan pengelola sekolah, tetapi juga sebagai bagian dari staf pendidik. Salah satu hal yang dapat dicontoh dari Negeri Kiwi ini adalah setiap kali guru kembali dari pelatihan, ia harus memberi pemaparan di hadapan guru lain. Materi itu kemudian didiskusikan cara penerapan yang sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap kelas, bahkan tiap mata pelajaran.
Bangun karakter
Narasumber yang lain, dosen ilmu pendidikan dari Universitas Massey, Selandia Baru, Marie Brannigan menjelaskan mengenai keterlibatan guru bimbingan dan karakter (BK) dalam membangun kepribadian siswa yang tangguh, ulet, disiplin, kritis, dan empati. Persepsi ini merupakan pemutakhiran dari persepsi bahwa tugas guru BK hanya mengarahkan siswa untuk menentukan minat, bakat, serta jurusan yang dipilih di perguruan tinggi.
“Pengembangan karier hanya sebagian kecil dari tugas guru BK. Perlu dipahami bahwa segala hal baik tidak datang apabila siswa lulus dengan nilai bagus dan diterima kuliah di perguruan tinggi elite. Justru, hal-hal baik datang apabila siswa tumbuh kembang sebagai manusia yang berpikiran kritis, bertanggung jawab, dan mengendepankan nilai kemanusiaan karena kompetensi itu bisa dipakai di semua jenis lapangan pekerjaan dan tidak akan tergantikan sepanjang zaman,” tuturnya.