Bus-Angkot Jadi Alternatif Ojek
Bus dan angkot menjadi alternatif untuk mengakomodasi perjalanan warga yang hendak beralih dari ojek pasca-kenaikan tarif ojek daring.
Bus dan angkot menjadi alternatif untuk mengakomodasi perjalanan warga yang hendak beralih dari ojek, pasca-kenaikan tarif ojek daring.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Tangerang menyediakan bus rapid transit atau BRT. Saat ini baru beroperasi dua koridor BRT, yakni Koridor 1 rute Poris Plawad-GOR Jatiuwung-Jatake dan Koridor 2 rute Poris Plawad-Cibodas.
Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengatakan, tahun ini, pemkot berencana menambah empat koridor lagi sehingga totalnya menjadi enam koridor. ”BRT ini kami persiapkan untuk membantu mobilitas masyarakat,” kata Arief, Selasa (7/5/2019).
Penyediaan BRT ini merupakan antisipasi dari kenaikan tarif ojek daring. Selain itu, kata Arief, pihaknya juga akan melakukan revitalisasi angkutan umum yang akan menjadi angkutan pengumpan BRT.
Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Tangerang Wahyudi Iskandar mengatakan, keenam koridor BRT akan menghubungkan seluruh wilayah di Kota Tangerang. ”Masyarakat yang akan memilih, mana angkutan umum yang dibutuhkan dan dirasakan lebih aman, nyaman, serta murah,” kata Wahyudi.
Kabupaten Bogor
Sekretaris Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor Supriyanto mengatakan, kenaikan tarif ojek daring tidak berpengaruh banyak terhadap angkot. Sebab, masing-masing moda angkutan tersebut punya pangsa pasar yang berbeda.
”Di kabupaten, harus diakui, masih banyak wilayah yang belum terjangkau angkot dan perilaku masyarakat banyak yang mau diantar dari satu titik langsung ke titik yang dituju,” ujarnya, kemarin siang.
Terkait dengan ojek daring, belum ada mekanisme mengontrol operasi dan penerapan tarif ojek daring di wilayahnya.
”Apa orang kembali menggunakan angkot? Mudah-mudahan saja. Kembali menggunakan kendaraan pribadi, belum tentu juga, karena sudah biasa pakai ojek daring tanpa biaya parkir dan tak perlu beli bensin, dijemput dan diantar langsung ke tujuan,” katanya.
Kebijakan zona yang berimbas pada kenaikan tarif sangat membebani Susanti, warga Jasmin Bogor Barat. ”Aduh, bener-bener, tarif ojek daring naik kelewatan. Malah sekarang tidak ada promo-promo lagi. Kalau ada promo juga kecil, sekali jalan habis terpakai. Padahal, sehari, dua-tiga tempat mesti saya kunjungi,” katanya.
Menurut Susanti, di Bogor tidak bisa mengandalkan angkot karena tidak semua jalan dilalui angkot dan banyak simpul kemacetan. Dengan kenaikan tarif ini, ia berharap pelayanan ojek daring makin bagus. Ia kerap menemukan pengemudi ojek yang terang-terangan minta tip atau mengatakan tidak ada kembalian.
Vidi Puspita, warga Loji, Bubulak, Kabupaten Bogor, memilih naik angkot. ”Pakai ojek daring kalau terpaksa, mengejar waktu, dan saya belum tahu pasti angkutan umum yang melintas di lokasi yang saya tuju,” katanya.
Angkot, menurut Vidi, lebih ekonomis. ”Untuk apa membayar Rp 10.000 kalau dengan Rp 3.500 bisa sampai ke tujuan. Tarif ojek daring itu mahal, loh. Apalagi sekarang tarifnya naik lagi,” katanya.
Ia menambahkan, naik angkot itu menyenangkan karena bisa santai selama perjalanan. Tinggal pandai-pandai saja mengatur waktu bepergian. ”Kalau tidak mau terlambat, berangkat lebih awal,” katanya.
Vidi berharap, Pemkot dan Pemkab Bogor segera menuntaskan pembenahan operasionalisasi angkot. Orang tidak pro angkot atau angkutan umum karena operasi, jaringan, dan kondisi angkot yang buruk.
Beralih ke angkot
Nurhayati (56), warga Larangan, Tangerang Selatan, mengatakan memilih naik angkot untuk menuju Ciputat tempat ia bekerja. Sebelumnya, ia memilih ojek daring karena tarifnya terjangkau. ”Ya harus dua kali ganti angkot, Neng. Tapi yang penting lebih murah.”
Kenaikan tarif ojek daring juga dirasakan Fajri (27). Warga Pasar Minggu itu terbiasa naik ojek daring dari rumah ke Stasiun Pasar Minggu. Akhir-akhir ini ia harus menambah Rp 2.000 untuk ongkos sekali naik ojek. ”Kalau naik angkot, ongkosnya tidak standar. Kadang Rp 3.000, kadang Rp 4.000.”
Cerita serupa juga dilakukan Annisa (29), warga Depok Baru. Untuk pergi ke kantor di kawasan Kebon Sirih, Annisa biasa naik ojek dari rumah ke Stasiun Depok Baru. Untuk jarak dari rumah ke stasiun yang sekitar 5 km, Annisa merogoh kocek Rp 13.000-Rp 14.000 untuk membayar ojek dengan tarif lama. Dengan tarif KRL yang relatif murah, pengeluaran harian Annisa Rp 30.000 untuk perjalanan.
Sekarang, dengan aturan baru, ongkos ojek dari rumah ke stasiun bertambah menjadi Rp 20.000. Untuk menghemat, ia memilih naik angkot yang tarifnya Rp 5.000 sekali jalan.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan, kenaikan tarif ojek daring memang tidak bisa dihindari sebatas kenaikannya pada koridor wajar sesuai aspek daya beli dan pelayanan.
”Kewajaran itu juga bagi operator. Tidak bisa melihat tarif dari konsumen saja, tapi dari keberlanjutan operator juga.”
Kalau terjadi migrasi atau perpindahan ke angkutan umum, YLKI menilai itu bagus karena angkot bisa hidup lagi. Sementara roda dua, sesuai dengan aturan undang-undang lalu lintas, tidak termasuk sebagai angkutan umum.
”Angkutan umum kolaps karena dominasi ojek online. Catatan saya, dengan kenaikan tarif ini, ojek online harus lebih memperhatikan aspek kenyamanan dan keamanan bagi penumpang dan driver. Harus lebih diutamakan,” tegas Tulus.