Dari Colombo Plan, Prakarsa Sabuk Jalan, hingga Poros Maritim Dunia
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, berbagai kerja sama internasional terkait pembangunan manusia dan infrastruktur berlangsung, seperti yang dimotori Persemakmuran Inggris dalam Colombo Plan yang dimulai di Colombo, Sri Lanka, tahun 1950, dan Marshall Plan yang diajukan Amerika Serikat tahun 1947-1951 untuk pemulihan ekonomi Eropa dan negara terdampak Perang Dunia II, serta berbagai kerja sama lain pada zaman kepemimpinan Soekarno.
Oleh
Iwan Santosa
·7 menit baca
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, berbagai kerja sama internasional terkait pembangunan manusia dan infrastruktur berlangsung, seperti yang dimotori Persemakmuran Inggris dalam Colombo Plan yang dimulai di Colombo, Sri Lanka, tahun 1950, dan Marshall Plan yang diajukan Amerika Serikat tahun 1947-1951 untuk pemulihan ekonomi Eropa dan negara terdampak Perang Dunia II, serta berbagai kerja sama lain pada zaman kepemimpinan Soekarno.
Era Presiden Soeharto diwarnai berbagai kerja sama besar yang dilakukan, di antaranya dengan IGGI yang dimotori Belanda, dengan Jepang melalui JICA, serta dengan Amerika Serikat melalui USAID, dan Australia lewat AUSAID. Berbagai program bantuan tersebut menghasilkan para cerdik pandai Indonesia yang kini mengisi berbagai posisi di pemerintahan dan swasta. Mereka memiliki wawasan terbuka dengan dunia. Namun, tetap memegang jati diri Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional tersebut.
Kini, babak baru muncul dengan adanya gagasan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum) pada era kepemimpinan Joko Widodo yang muncul bersamaan dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative yang digagas China pada era Xi Jinping yang merevitalisasi Jalur Sutra pada milenium pertama atau awal abad Masehi.
Jalur Sutra modern hadir kembali dengan membuat konektivitas darat dengan jalur transportasi jalan raya, rel kereta api, dan jalur laut yang menghubungkan Asia-Eropa-Afrika, seperti 2.000 tahun silam. Demikian pula jalur kayu manis dari Nusantara yang menjadi titik perhubungan Asia Timur-Asia Barat dan Eropa juga bangkit bersama-sama.
Analis senior Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Siswo Pramono, dalam satu percakapan menegaskan, keterhubungan serta keterkaitan dunia Arab-India (Asia Selatan)-Nusantara serta Asia Tenggara dengan Asia Timur yang mencakup China, Jepang, dan Korea adalah hubungan 2.000 tahun lebih yang berjalan damai serta alamiah!
Itulah sebabnya, kerja sama Colombo Plan yang semula dimulai di Sri Lanka untuk pembangunan sumber daya manusia di negara-negara Persemakmuran Inggris di kawasan Asia Selatan berkembang ke wilayah lain, yakni ASEAN, termasuk Indonesia.
Asia-Eropa-Afrika Tersambung Kembali
Kerja sama juga berkembang di antara ASEAN Plus, termasuk dengan China, Jepang, dan Korea Selatan. Perkembangan ekonomi China turut memacu kerja sama dan konektivitas kawasan dan internasional, yakni antara Asia dan Eropa.
Repertoar sejarah hubungan Dinasti Tang, Khalifah Abassiyah, dan para pedagang Eropa zaman Charlemagne di Konstantinopel dan Jazirah Italia terulang kembali pada awal milenium ketiga peradaban umat manusia.
Mantan Ketua Kamar Dagang Indonesia perwakilan Shanghai, China, Adi Harsono, dalam satu kunjungan bersama penulis ke kota Chengdu, Provinsi Sichuan, China, menunjukan pusat kendali pengiriman barang dengan kereta api dari Sichuan-Moskwa-Paris yang dilakukan dalam 14 hari saja!
”Kalau pengiriman lewat laut, bisa satu bulan lebih. Pengiriman dengan kereta api hanya makan waktu dua minggu. Itu pun karena harus ganti rangkaian kereta di perbatasan Rusia karena perbedaan rel. Kalau ukuran dan sistem dari Rusia sudah sama dengan di China sehingga tidak perlu ganti rangkaian loko dan gerbong, tentu waktu tempuh jauh lebih cepat untuk mengirim barang dari China ke Eropa Barat dan sebaliknya,” kata Adi Harsono.
Beberapa supermarket di Stasiun China-Eropa di kota Chengdu, Sichuan, menampilkan berbagai komoditas dari negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur, mulai dari keju hingga anggur. Sebaliknya, di Eropa, tidak hanya komoditas dari China yang dijual, tetapi juga berbagai penganan, produk minuman, bumbu-bumbu dari Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga kerupuk dan camilan khas Indonesia!
Marco Polo-Ibnu Batutah
Menyambung dan menghidupkan kembali hubungan Asia-Eropa-Afrika, seperti pada zaman Marco Polo dan Ibnu Batutah, bukanlah mimpi. Perlahan tetapi pasti, dunia yang semakin dekat lewat konektivitas darat dan laut sedang terjadi.
Demikian juga konektivitas laut, darat, dan udara yang dikerjakan pemerintah Indonesia sejak era reformasi, terutama setelah pencanangan Poros Maritim Dunia.
Mengenai konektivitas laut di Nusantara, pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), Christianto Wibisono, mengingatkan, ketika terjadi nasionalisasi terhadap berbagai bisnis Belanda tahun 1957 yang ikut menghantam perusahaan KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij), berdampak pada biaya angkutan antarpulau di Indonesia. Hingga kini biaya angkutan ini tercatat sebagai yang termahal di dunia.
”Membangun infrastruktur dan konektivititas itu penting. Nasionalisasi tahun 1957 itu menghancurkan sistem angkutan antarpulau yang terjadwal dan efisien. Hasilnya hari ini ongkos kirim buah dari China ke Indonesia lebih murah dibandingkan dengan biaya kirim jeruk dari Pontianak di Kalbar ke Jakarta di Pulau Jawa. Konektivitas dan efisiensi itu mutlak diperlukan dalam membangun perekonomian yang bersaing secara global,” kata Christianto.
Dalam catatan perjalanan Marco Polo dan Ibnu Batutah yang menjelajah dari Eropa dan Magribi ke China, keberadaan Nusantara merupakan bagian penting dari poros perdagangan dan peradaban dari dunia Barat ke Timur. Rentang hubungan Afrika-Eropa-Asia yang ditempuh berbulan-bulan hingga bilangan tahun kini dapat ditempuh dalam hitungan belasan hari melalui perjalanan darat dalam skala perdagangan jauh lebih besar. Skema kerja sama Belt and Road Initiative dan kebijakan Poros Maritim Dunia berdiri berdampingan saling melengkapi.
Bersamaan dengan itu, kerja sama regional, seperti skema JICA, USAID, AUSAID, dan berbagai forum, misalnya IORA, yang menghubungkan negara-negara di Samudra Hindia juga terus berlangsung dan Indonesia menjadi bagian penting.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi tokoh penting dalam kerja sama Belt and Road Initiative antara Indonesia dan China menegaskan, kerja sama tersebut didasari kesetaraan.
”Kerja sama yang dilakukan juga terbuka, tidak hanya dilakukan dengan China. Kalau negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, negara-negara Eropa, dan Amerika juga berminat, kenapa tidak. Yang penting semua dilakukan dengan cermat dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia,” kata Luhut.
Dia menegaskan, tenaga kerja asing dan alih teknologi menjadi prioritas utama dalam lanjutan kerja sama Prakarsa Sabuk dan Jalan antara Indonesia dan China. Konferensi Belt and Road Initiative yang baru usai di Beijing, China, membuka peluang tidak hanya bilateral Indonesia-China, tetapi juga Indonesia dengan negara lain. Forum yang merupakan kerja sama multilateral terbesar di dunia saat ini diikuti lebih dari 100 negara.
”Kerja sama ekonomi yang dilakukan pun sifatnya business to business. Jadi, tidak akan menggunakan uang rakyat, apalagi sampai menjadi beban utang Indonesia. Rencana kerja sama kita dengan China pun tidak eksklusif sehingga memungkinkan keterlibatan pihak lain atau negara lain yang lebih menguntungkan kepentingan kita,” ujar Luhut.
Ekonom Universitas Indonesia, Mari Elka Pangestu, yang ditemui di kediamannya di Jakarta Selatan menilai, kerja sama Belt and Road Initiative antara Indonesia dan China dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
”Banyak yang tidak paham dan takut akan jeratan utang dan sebagainya. Padahal, ini salah satu dari sekian banyak kerja sama yang kita lakukan dengan cermat. Apalagi, ini format kerja samanya antara bisnis dengan bisnis dan bukan pemerintah dengan pemerintah,” kata Mari Pangestu.
Senada dengan penjelasan tersebut, Direktur Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Santo Darmosumarto menjelaskan, Indonesia termasuk negara Asia terakhir di luar India yang sepakat masuk dalam kerja sama Belt and Road Initiative.
”Berbagai kesepakatan yang dihasilkan pun dilakukan dengan cermat untuk kepentingan nasional kita. Bagaimana skema Belt and Road Initiative tersebut bisa sejalan dengan Global Maritime Fulcrum Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Santo.
Santo menjelaskan, selain skema Belt and Road Inititiave, proyek kerja sama kereta api Jakarta–Surabaya dengan Jepang terus berjalan. Demikian pula proyek-proyek pembangunan berbagai bendungan dengan Korea Selatan.
Berbagai kerja sama yang sedang berlangsung saat ini tidak terlepas dari semangat Konferensi Asia Afrika yang diperjuangkan Bung Karno bersama para pemimpin Asia-Afrika. Konektivitas Asia-Eropa-Afrika melalui Belt and Road Initiative serta Indonesia sebagai Poros Maritim dunia adalah salah satu wujud dari semangat kebangkitan Asia Afrika.
Konferensi para negara berkembang yang menghasilkan kesepakatan Dasa Sila Bandung tentang kesetaraan dan kemajuan Asia-Afrika ini dicanangkan di Bandung tahun 1955.
Keberadaan China, Indonesia, ASEAN, dan sejumlah negara berkembang lainnya dalam kerja sama Belt and Road Initiative serta Poros Maritim Dunia adalah bagian dari wujud semangat kerja sama tersebut.