Apabila ada suatu permasalahan, sudah ada lembaga-lembaga yang diberi kewenangan, dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Langkah politik berupa penggunaan hak angket dan pembentukan panitia khusus guna menyelidiki pelanggaran pelaksanaan Undang-Undang Pemilu 2019 dinilai tidak mendesak. Apabila ada suatu permasalahan, konstitusi juga sudah mengatur proses penyelesaiannya, baik melalui Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga Mahkamah Konstitusi (MK).
Usulan pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket tersebut diusulkan oleh Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Keadilan Sejahtera dalam Rapat Paripurna ke-16 Dewan Perwakilan Rakyat Masa Persidangan V 2018–2019 di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/5/2019). Akan tetapi, usulan tersebut mendapat penolakan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasdem.
Anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa mengatakan, fakta meninggalnya lebih dari 400 orang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan ada berbagai kesalahan dalam sistem penghitungan KPU menjadi dasar usulan pembentukan pansus Pemilu 2019.
“Agar semua evaluasi bisa kita lakukan dengan baik. Dari masalah kematian KPPS dan pengawas pemilu, salah input (Situng KPU), pelaksanaan pemilu, pelaksanaan pemilu serentak, hingga mengevaluasi akuntabilitas penyelenggara pemilu,” kata Ledia dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon.
Ditemui usai rapat, Ledia mengklaim, sudah ada 31 anggota DPR dari Fraksi PKS, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) yang setuju dengan pembentukan pansus.
Akan tetapi, Anggota Fraksi PAN Ali Taher membantahnya. Ali mengatakan, mereka masih akan membicarakannya di internal fraksi.
Intervensi politik
Berkait usulan pansus hak angket tersebut, Anggota Fraksi PDI-P Eva Sundari mengatakan, Indonesia telah mendapat apresiasi dari dunia internasional dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Untuk itu, tahapan pemilu yang sedang berlangsung, yakni rekapitulasi suara, harus tetap berjalan.
“Kita, anggota DPR, tidak perlu intervensi politik, terlebih lagi, kita adalah pemain (dalam Pemilu 2019),” kata Eva.
Eva berpendapat, mekanisme hukum dalam pemilu sudah disiapkan apabila ada dugaan kecurangan. Apabila ada suatu permasalahan, sudah ada lembaga-lembaga yang diberi kewenangan, dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kita, anggota DPR, tidak perlu intervensi politik, terlebih lagi, kita adalah pemain (dalam Pemilu 2019),” kata Eva.
Anggota Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate berpandangan yang sama. Ia meminta anggota DPR untuk tidak mengganggu proses rekapitulasi dengan sebuah langkah politik. Johnny menolak pembentukan pansus sebelum seluruh proses rekapitulasi tuntas dilaksanakan.
“Menilai adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif adalah sangat prematur. Kita bersama-sama punya kewajiban untuk mendukung dan memastikan Pemilu 2019 berjalan dengan baik,” kata Johnny.
Misbakhun, Anggota Fraksi Partai Golkar, menegaskan, pembentukan pansus tidak diperlukan. Apabila perbaikan konsep penyelenggaraan pemilu serentak dibutuhkan, sebaiknya dilakukan melalui revisi UU Pemilu bersama pemerintah periode selanjutnya.
Anggota Fraksi PPP Lena Maryana juga mendorong segala pihak dalam Pemilu 2019 untuk menggunakan upaya-upaya yang sesuai dengan koridor hukum dan konstitusi.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai, sikap paling bijak dalam menyikapi proses Pemilu 2019 adalah menunggu hasil perhitungan manual yang dilakukan KPU secara berjenjang.
"Jika dalam proses penghitungan suara tersebut terdapat pihak-pihak yang merasa keberatan atau dirugikan, hendaknya menempuh prosedur dan jalur yang disediakan undang-undang dan konstitusi," kata Bambang.
Fokus legislasi
Mengenai wacana ini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berharap anggota dewan tidak tergesa-gesa. Menurutnya, di akhir masa jabatan mereka, para anggota dewan sebaiknya lebih fokus menuntaskan berbagai pekerjaan rumah DPR yang belum selesai; seperti pembahasan rancangan undang-undang.
Titi berpandangan, prioritas saat ini adalah mengawal proses tahapan pemilu, yakni rekapitulasi suara, sehingga berjalan dengan baik dan penetapan hasil pemilu dapat dilakukan sesuai jadwal.
“Proses pemilu harus tetap dilaksanakan sampai tuntas. Apapun hasil pemilu nanti, hendaknya diterima oleh semua pihak, terutama para elite politik agar pembelahan masyarakat tidak terus terjadi,” kata Erik.
Pihak-pihak yang beranggapan telah terjadi pelanggaran ataupun kecurangan, tambah Titi, diharapkan untuk menempuh upaya hukum yang tersedia, baik melalui Bawaslu, DKPP, ataupun Mahkamah Konstitusi.
“Ini agar menjadi edukasi politik bagi warga negara. Karena, pemilu kita adalah pemilu yang berdasarkan hukum sesuai konstitusi dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada,” kata Titi.
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Erik Kurniawan, memandang, wacana pembentukan pansus terkait pemilu juga bukan hal yang baru. Sepuluh tahun yang lalu, pada 26 Mei 2009, sekitar sebulan usai hari pemungutan suara Pemilihan Legislatif 2009, sejumlah fraksi di DPR mengajukan hak angket tentang daftar pemilih tetap pemilu legislatif. Fraksi pengusul tersebut antara lain adalah PDI-P, Partai Golkar, PPP, dan PAN.
Meski demikian, tujuan dari pembentukan hak angket tersebut perlu menjadi perhatian, kata Erik. Perlu dihindari, proses hak angket yang akan mengganggu proses rekapitulasi yang sedang berjalan.
“Proses pemilu harus tetap dilaksanakan sampai tuntas. Apapun hasil pemilu nanti, hendaknya diterima oleh semua pihak, terutama para elite politik agar pembelahan masyarakat tidak terus terjadi,” kata Erik.