Ikhtiar Setia di ”Jalan Gula”
Saat sejumlah pabrik gula di Pulau Jawa rontok karena tak lagi efisien dan kekurangan bahan baku, sebagian petani tetap setia menanam tebu. Hidup di lahan kering, mereka sedikit punya pilihan. Setia di jalan gula pilihan yang diresapi sebagai ikhtiar hidup.
Hiruk pikuk warga menyemarakkan lingkungan sekitar Pabrik Gula Pangka di Kelurahan Posong, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (4/5/2019) pagi. Petani tebu, karyawan pabrik, perwakilan pamong praja, hingga warga kampung lain berjajar di kanan-kiri jalan desa. Mereka bersukacita menyambut perarakan Tebu Temanten.
Kala tebu diarak, tak sedikit warga yang sesekali masuk ke barisan perarakan untuk berswafoto. Di antara mereka, Slamet (52), petani tebu setempat, terlihat antusias. Tradisi Tebu Temanten atau Pengantin Tebu merupakan salah satu peristiwa yang dinanti para petani tebu. Setelah ini, para petani akan bekerja selama enam bulan penuh tanpa henti.
”Tradisi ini merupakan salah satu acara puncak yang menandai dimulainya musim panen dan musim giling tebu (di pabrik gula),” kata Slamet.
Dalam tradisi yang digelar sekali setahun ini, dua tebu dari dua lahan tanam yang berbeda dirias dan diperlakukan layaknya pengantin. Tebu yang diberi nama Bagus Nawangsari Janu Dananjaya dan Roro Nawangwulan Maheswari Hasanti itu diarak di sekitar pabrik.
Sebelum perarakan Tebu Temanten, digelar pasar malam selama satu bulan penuh. Acara itu menjadi salah satu wadah bagi para petani tebu dan masyarakat untuk bersenang-senang sebelum bekerja keras.
Tidak hanya kalangan petani, semarak juga terasa di kompleks Pabrik Gula (PG) Pangka. Pabrik gula yang didirikan tahun 1832 tersebut juga dihias bak tempat resepsi perkawinan. Pada setiap pintu masuk, janur-janur ditata melengkung seperti sedang menggelar hajatan pernikahan.
Setelah diarak dari lahan tebu ke pabrik, pasangan tebu diletakkan di atas mesin penggilingan. Disusul 12 batang tebu dari Desa Jatibarang, Brebes, dan Desa Penusupan, Tegal, yang juga ikut diletakkan di mesin penggilingan sebagai ritual terakhir.
Wijanarto, sejarawan pantura, mengatakan, tradisi Tebu Temanten bertujuan menyatukan dua tebu terbaik dalam satu penggilingan. Tebu yang akan digiling diharapkan memiliki kualitas yang baik seperti keduanya.
”Tradisi ini muncul sebagai salah satu tanda dari eksistensi industri gula di suatu daerah. Tidak hanya di Tegal, tradisi ini juga digelar di beberapa daerah, seperti di Brebes dan Cirebon,” kata Wijanarto.
Bertahan
Kendati demikian, tradisi Tebu Temanten kian kehilangan gereget karena petani semakin berat untuk hidup dari menanam tebu. Slamet mengaku, keuntungan menanam tebu kian tak menjanjikan.
”Penghasilan semakin menurun. Dengan luas lahan 2 hektar, dua tahun lalu, saya bisa dapat sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Kini hanya bisa dapat Rp 800.000-Rp 850.000 per bulan,” ucapnya. Penetapan harga pembelian pemerintah untuk produk gula Rp
9.700 per kilogram juga belum memenuhi biaya pokok produksi gula seharga Rp 10.500 per kg.
Meski begitu, Slamet enggan berpaling. Salah satu yang membuatnya tak mau berganti jenis tanaman karena lahan garapannya merupakan tanah kering. Tanah tersebut hanya cocok ditanami tebu. Jika ingin menanam padi atau palawija, Slamet harus menambah modal untuk mengatur irigasi.
Sejumlah petani tebu mengaku mulai mencari pemasukan lain. Tomo (57), misalnya, bekerja sampingan selama menunggu masa panen tabu.
”Sambil menunggu masa panen, saya bekerja sebagai buruh bangunan. Kalau hanya mengandalkan hasil dari bertani tebu, tidak cukup,” ucap Tomo.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Fathudin Rosyidi mengatakan, turunnya animo masyarakat bekerja di industri gula turut memengaruhi operasional pabrik gula. Pabrik gula yang tak bisa bertahan memilih gulung tikar.
Menurut Fathudin, dulu, Tegal memiliki sekitar tujuh pabrik gula. Kini tersisa PG Pangka. Fenomena pabrik gula gulung tikar juga terjadi di beberapa tempat, seperti di Brebes dan Cirebon.
Kondisi ini tecermin dari susutnya lahan tebu di sekitar PG Pangka. Saat ini PG Pangka hanya memiliki 1.500 hektar lahan tanam tebu. Padahal, beberapa tahun lalu mencapai 3.500 hektar. Adapun jumlah petani tebu di Tegal saat ini hanya sekitar 1.000 orang, jauh menurun dibandingkan dengan empat tahun lalu sebanyak 2.500 orang.
Revitalisasi
Selain luasan lahan yang terus menyusut, operasional pabrik gula juga kian tak efisien. Mesin produksi gula di PG Pangka misalnya, kini masih menggunakan teknologi lama.
Fathudin berharap, pabrik-pabrik gula direvitalisasi karena masih berpotensi. Dengan revitalisasi, kemampuan produksi gula bisa ditingkatkan dari saat ini berkisar 1.700-1.800 ton tebu per hari.
Peningkatan produksi gula juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani tebu, karyawan pabrik, sopir truk pengangkut tebu, hingga warga sekitar pabrik. ”Kami sudah berkali-kali mengajukan permintaan revitalisasi pabrik. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan dari pemerintah,” ucap Fathudin.
Sementara itu, Manajer PG Pangka-Jatibarang Tri Agung Wahyudi mengatakan, untuk meningkatkan pasokan tebu, tahun ini pihaknya bekerja sama dengan Perhutani menambah luasan lahan sekitar 530 hektar. Tahun ini pihaknya menargetkan rendemen atau kandungan gula dalam tebu 7,52 persen.
Adapun hasil rendemen tahun lalu hanya tercapai 6,68 persen, di bawah target semula 7,56 persen. Hal ini karena kualitas tanaman tebu kurang bagus akibat cuaca.
”Gula hasil produksi PG Pangka diharapkan bisa mencukupi kebutuhan gula di Jateng bagian barat,” ujar Tri. Untuk mencapai target tersebut, pihaknya akan melakukan sejumlah perbaikan. Salah satunya efektivitas pengolahan tebu di pabrik.
Berdasarkan data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, dengan usia uzur, produktivitas pabrik-pabrik gula nasional sangat rendah. Dari 100 ton tebu hanya dihasilkan maksimal 7 ton gula. Padahal, pabrik gula di Thailand bisa menghasilkan 14 ton gula. Untuk itu, revitalisasi pabrik gula menjadi keniscayaan.
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX Iryanto Hutagaol sebelumnya mengatakan, pihaknya dulu mengoperasikan 13 PG di seluruh Jateng. Namun, pada 2016 tinggal delapan pabrik dan sejak 2017 tinggal lima pabrik. Satu pabrik, yakni PG Cepiring di Kendal, dioperasikan bekerja sama dengan swasta.
Kendati nasibnya tak semanis gula yang dihasilkan, para petani tebu di pantura Jateng masih setia menghidupi tanaman tersebut. Mereka berharap roda-roda giling pabrik gula kembali berputar kokoh seiring perbaikan mesin dan ekonomi petani tebu.