Tanaman tebu terbaik telah dipilih. ”Pengantin” pria dan wanita telah dikirab dalam prosesi perkawinan tebu di beberapa pabrik gula di Pulau Jawa awal Mei 2019. Musim giling tebu tahun 2019 telah tiba.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Tanaman tebu terbaik telah dipilih. ”Pengantin” pria dan wanita telah dikirab dalam prosesi perkawinan tebu di beberapa pabrik gula di Pulau Jawa awal Mei 2019. Musim giling tebu tahun 2019 telah tiba.
Seremoni ini semestinya penuh sukacita. Panen dan giling tebu adalah momen paling dinanti dalam siklus produksi gula petani. Namun, seperti halnya beberapa tahun terakhir, musim giling kali ini diwarnai kegusaran petani. Sebab, harga jual gula petani masih serba tak pasti, sementara pasar masih banjir gula.
Sejumlah perwakilan petani tebu datang ke Istana Negara di Jakarta, untuk bertemu Presiden Joko Widodo, Rabu (6/2/2019), lalu disusul kelompok petani yang lain pada Selasa (5/3/2019). Mereka antara lain meminta pemerintah segera menaikkan harga pokok pembelian (HPP) gula petani serta serius menangani perembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi.
Permintaan itu realistis jika mengacu situasi yang menimpa petani tebu rakyat beberapa tahun terakhir. Harga lelang gula hasil giling tahun lalu, misalnya, rata-rata hanya Rp 9.615 per kilogram (kg). Padahal, ongkos produksinya mencapai Rp 10.500-10.800 per kg.
Pada Maret 2018, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mengusulkan harga acuan pembelian gula petani Rp 10.500 per kg. Jumlah itu berdasarkan hasil survei biaya pokok produksi yang melibatkan perguruan tinggi negeri dan lembaga penelitian. Namun, harapan agar HPP naik belum terwujud. Belakangan, harapan itu mekar lagi seiring ”lampu hijau” dari Presiden.
Selain harga jual rendah, sebagian gula petani yang diproduksi oleh pabrik gula milik negara tidak terserap oleh pasar. Situasi ini ironis. Sebab, kebutuhan gula kristal putih nasional diperkirakan 2,9 juta ton setahun, sementara produksi tahun 2018 mencapai 2,1 juta ton. Nyatanya, pasar gula nasional tahun lalu banjir, terlebih 1,2 juta ton produksi tahun 2017 masih tersisa di awal tahun 2018.
Rembesan gula rafinasi dituding jadi biang keladi. Penyakit ini selalu kambuh meski berulang diprotes karena merusak harga dan pasar gula petani.
Rembesan gula rafinasi dituding jadi biang keladi. Penyakit ini selalu kambuh meski berulang diprotes karena merusak harga dan pasar gula petani. Laporan Kompas selama beberapa hari di awal 2019 membuka kusutnya masalah: gula rafinasi dijual secara daring! Perembesan secara digital ini menebalkan pesimisme soal keseriusan pemerintah dan penegak hukum dalam mengawasi distribusi gula.
Selain rembesan gula rafinasi yang beredar di pasar gula konsumsi, petani dan asosiasi petani juga mengkritik besarnya volume impor gula mentah, gula kristal putih, dan gula rafinasi.
Tekanan berulang di setiap musim giling diyakini menggerus motivasi petani. Oleh karena dianggap tidak menguntungkan, sebagian petani memilih tidak menanam tebu lagi dan beralih ke komoditas lain. Hal ini tecermin di luas areal tebu yang cenderung susut dari 478.108 hektar tahun 2014 menjadi 453.456 hektar tahun 2017. Khusus kebun rakyat, luasnya berkurang dari 290.967 hektar menjadi 267.325 hektar selama kurun itu.
Akumulasi atas situasi tersebut bakal mengancam industri gula nasional dan nasib swasembada gula di masa depan. Jika luas kebun terus susut, pabrik gula bakal makin kesulitan mendapatkan bahan baku, sementara pemenuhan kebutuhan gula bakal semakin bergantung pada gula impor. Sia-sialah revitalisasi pabrik dan sederet program yang susah payah diupayakan selama ini.
Terlepas dari situasi politik menjelang Pemilu 2019, kisi-kisi soal rencana pemerintah menaikkan HPP gula membawa harapan bagi petani. Sebelum terlambat, sebelum mesin berhenti menggiling tebu panenan musim ini, kenaikan HPP dinanti petani. Sebab, selain kepastian pasar, harga jual yang layak dan menguntungkan akan menjadi insentif terbaik bagi petani.