JAKARTA, KOMPAS —Tidak semua pemerintah daerah siap mengantisipasi risiko bencana yang meningkat, baik dalam intensitas maupun dampaknya. Selain soal penganggaran, ketidaksiapan daerah terlihat dari aksi tanggap daruratnya.
Banjir, banjir bandang, dan longsor di Sentani, Papua; Sigi, Sulawesi Tengah; Enrekang, Sulawesi Selatan; Bengkulu, Bengkulu; dan Bandung, Jawa Barat, menunjukkan respons kedaruratan daerah kedodoran. Di sejumlah daerah, masalah bencana menjadi lintas daerah.
Selain alokasi anggaran yang jauh dari besaran kerugian, daerah juga tidak siap membangun posko pengungsian dan jenis bantuan di daerah rawan bencana. Bencana juga tidak didahului peringatan dini.
”Sejauh ini soal bencana ini belum dibicarakan serius. Kalau sudah, pasti risiko-risiko bisa diantisipasi. Nyatanya, korban terus ada dan kerugian keuangan negara juga tinggi,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Saiful Ilah, yang juga Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/5/2019).
Ia menilai perlunya komitmen serius setiap pemda menanggulangi masalah bencana, di hulu dan di hilir. Ia akan membawa masalah itu dalam pertemuan semua bupati dalam Apkasi Otonomi Expo 2019, 3-5 Juli 2019, di Jakarta.
Hal yang sama dikatakan Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany. Menurut dia, belum semua kota siap menghadapi bencana. Indikatornya, masih ada daerah yang tak punya rencana induk kebencanaan.
Salah satu kota yang cukup siap, kata Airin, adalah Kota Padang, yang punya sistem peringatan dini kebencanaan dan jalur-jalur evakuasi. Demikian juga Kota Semarang, yang memiliki sistem peringatan dini banjir yang sistematis hingga hilir.
Sebagai Wali Kota Tangerang Selatan, Airin menegaskan, pihaknya punya mekanisme terkait aspek kesiagaan, kedaruratan, dan rekonstruksi bencana. Semua organisasi perangkat daerah punya peran masing-masing dalam konteks kejadian bencana.
Keterlibatan para pihak
Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, mengatakan, setidaknya ada lima pihak yang harus terlibat memitigasi bencana, yakni pemerintah, masyarakat, akademisi, media massa, dan lembaga usaha.
Pemerintah dan masyarakat di lokasi bencana menjalankan upaya mitigasi di lapangan, baik struktural maupun nonstruktural. Mitigasi struktural adalah upaya meminimalkan risiko bencana melalui pembangunan dan pendekatan teknologi, misalnya pembuatan kanal pencegah banjir dan pemasangan sistem peringatan dini longsor.
Mitigasi nonstruktural bisa melalui kebijakan mengurangi risiko bencana, penataan ruang, dan membangun kesadaran masyarakat. ”Buat Indonesia, yang penting justru mitigasi nonstruktural,” ujar Eko.
Akademisi berperan meneliti dan menghadirkan teknologi yang meminimalkan risiko, media massa menyebarluaskan risiko dan mitigasi bencana, sedangkan lembaga usaha memastikan bisnisnya tidak ikut menyebabkan bencana. ”Siapa yang harus siap? Semuanya, baik pemerintah, akademisi, masyarakat, media, maupun lembaga usaha,” katanya.
Tata kelola ruang dan kerusakan daerah aliran sungai merupakan salah satu penyebab dampak merusak dan mematikan, bukan cuaca ekstrem atau anomali cuaca. Banyak daerah resapan yang dipakai untuk permukiman.
Di Sentani, Sigi, dan Bengkulu Tengah, misalnya, banyak warga yang masih terdampak banjir bandang. Selain rumah hancur diterjang lumpur dan kayu gelondongan, air sisa banjir masih merendam sejumlah tempat. Belum lagi jalan putus akibat jembatan putus dan fasilitas publik lain yang rusak.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta pemda mengantisipasi risiko bencana dalam pos anggaran. ”Kalau sewaktu-waktu ada bencana, tidak hanya mengharapkan bantuan dari pusat. Tangani sendiri dulu,” ujarnya.