Kebebasan Tetap Terancam
Myanmar masih mempertahankan sejumlah peraturan yang bisa mengancam kebebasan berpendapat dan media. Pembebasan dua wartawan tidak mengurangi ancaman itu.
YANGON, SELASA— Myanmar secara mengejutkan membebaskan dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, Selasa (7/5/2019). Pembebasan dua jurnalis yang ditangkap karena meliput isu Rohingya itu dinyatakan untuk kepentingan Myanmar. Sayangnya, pembebasan mereka tidak menghapus ancaman kebebasan berpendapat dan media di Myanmar.
”Setelah para pemimpin mempertimbangkan kepentingan jangka panjang negara, dua pewarta Reuters dibebaskan,” kata juru bicara Pemerintah Myanmar, Zaw Htay.
Namun, pembebasan mereka dinilai tidak berdampak banyak pada kebebasan media di sana. ”Jika serius tentang kebebasan pers, dapat dimulai dengan mereformasi hukum represif era penjajahan yang dulu dipakai menjerat kedua orang itu. Demikian pula peraturan lain yang mengekang kebebasan berpendapat dan media,” ujar Matthew Bugher dari Article 19, organisasi yang fokus menangani isu kebebasan berpendapat.
Ia mengingatkan tekanan keras internasional menjadi alasan utama pembebasan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. Myanmar mendapat citra buruk setelah menahan mereka.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditangkap kala meliput kekerasan yang menimpa orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada Desember 2017. Setelah ditahan lebih dari setahun, mereka divonis tujuh tahun penjara pada September 2018.
Mahkamah Agung Myanmar menolak kasasi mereka pada April 2019. Selepas penolakan itu, para istri mereka mengajukan pengampunan kepada presiden agar mereka bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Para istri mereka menolak menyatakan mereka bersalah.
Akhirnya, secara mengejutkan, mereka dibebaskan. Selain mereka, 6.518 orang lain juga bebas setelah mendapat grasi dari Presiden Myanmar Win Myint. Grasi massal diberikan sejak April 2019 terkait perayaan tahun baru Myanmar.
Wa Lone menyatakan sangat bersyukur atas upaya internasional untuk pembebasan dirinya dan rekannya. ”Saya sangat senang dan tidak sabar bertemu keluarga serta sahabat. Saya tidak sabar ke kantor,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi Reuters Stephen J Adler menyambut kabar pembebasan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo. ”Kami sangat senang Myanmar membebaskan dua reporter pemberani kami. Sejak mereka ditahan 511 hari lalu, mereka menjadi lambang pentingnya kebebasan pers di seluruh dunia,” ujarnya.
Ancaman
Amnesty International wilayah Asia Tenggara, Nicholas Bequelin, mengingatkan masih banyak ancaman kebebasan berpendapat di Myanmar. Ada banyak hukum yang bisa dipakai untuk menjerat aktivis, jurnalis, atau siapa pun yang mengkritik pemerintah. ”Sampai peraturan ini dicabut, jurnalis dan aktivis tetap terancam ditangkap dan ditahan,” ujarnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa berpendapat senada. ”Kebebasan berpendapat (di Myanmar) sangat buruk,” kata juru bicara kantor HAM PBB, Ravina Shamdasani. Ia menyebut, tidak ada kemajuan positif di Myanmar soal kebebasan berpendapat. Padahal, pihaknya menyampaikan sejumlah rekomendasi tahun lalu.
Myanmar berada di peringkat ke-138 dari 180 negara dalam soal kebebasan pers. Penyebab utamanya adalah aneka peraturan yang bisa dipakai menangkap jurnalis dan aktivis. Peraturan itu antara lain undang-undang telekomunikasi yang disahkan pada 2013.
Selain Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, Myanmar juga menangkap jurnalis lain. Pada Juni 2017, tiga jurnalis dari The Irrawaddy dan Democratic Voice of Burma ditangkap lalu ditahan 10 pekan oleh tentara. Mereka akhirnya dibebaskan setelah penuntut militer membatalkan tuntutan terhadap mereka. Mereka ditangkap kala meliput di daerah operasi militer.
Selain itu, ada pula Swe Win yang sudah berkasus selama dua tahun terakhir. Ia dijerat dengan pasal pencemaran nama baik karena aktivitas jurnalistiknya.
Gerus Reputasi
Penahan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo berdampak buruk pada reputasi Aung San Suu Kyi. Peraih Nobel Perdamaian itu sudah dikecam karena dinilai gagal bersuara dalam masalah Rohingya. Penahanan Wa Lone dan Kyaw Soe Oo membuat kecaman semakin menjadi. Ia dinilai gagal bertindak seperti Dalai Lama, Nelson Mandela, atau Martin Luther King.
Di masa lalu, perempuan yang kini secara resmi menjadi Penasihat Negara sekaligus Menteri Luar Negeri Myanmar itu amat disukai media. Selama menjalani tahanan rumah, media internasional membantunya menyuarakan pesan ke berbagai pihak. Sementara di dalam negeri, ia tidak banyak diliput.
Wakil Direktur Human Rights Watch Asia Phil Robertson mengatakan, Suu Kyi tidak menolong dan terus menghindar selama perjalanan kasus Wa Lone and Kyaw Soe Oo. Sikapnya yang terus mengeras terhadap media independen juga menjadi masalah besar. Suu Kyi bisa saja meminta pengampunan oleh presiden sejak dulu.
Menurut pendukung Suu Kyi, perempuan itu tidak bisa banyak berbuat karena militer secara faktual masih berkuasa. Meski partainya memenangi pemilu dan membentuk pemerintahan sipil, masih banyak celah bagi militer di Myanmar.
(AFP/REUTERS/RAZ))