JAKARTA, KOMPAS – Malaria merupakan masalah kesehatan yang belum pernah tuntas di Indonesia. Tidak hanya kasus baru, kejadian kekambuhan masih ditemukan. Diperkiran, kekambuhan yang terjadi pada pasien malaria disebabkan oleh pemberian obat malaria primakuin yang belum optimal.
“Untuk itu, pemerintah sebaiknya menerapkan pemeriksaan diagnositik cepat untuk mengetahui status defisiensi G6PD (defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase) pada pasien sebelum pemberian primakuin," kata Anggi Gayatri (35), saat mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta, Rabu (8/5/2019).
“Dengan begitu, primakuin dengan dosis tinggi bisa diberikan untuk populasi normal yang bukan dengan defisiensi G6PD,” ujar Anggi lagi yang menulis disertasi berjudul “Model Farmakokinetik/ Farmakodinamik Populasi Primakuin dan Analisis Faktor Genetik Enzim CYP2D6 terkait Kejadian Relaps Malaria Vivaks” itu.
Wanita kelahiran 1984 itu berhak menyandang gelar doktor dengan predikat yudisium A. Indeks prestasinya 3,85 dan ia tercatat sebagai doktor ke-20 yang lulus di FKUI pada 2019.
Dosis rekomendasi primakuin dari Kementerian Kesehatan pada 2017 untuk pasien malaria vivaks dewasa sebesar 15 miligram/hari. Dosis ini hanya setengah dari dosis yang direkomendasikan badan kesehatan dunia (WHO) untuk daerah Asia Tenggara.
Pemberian primakuin dosis rendah dipertimbangkan oleh Kementerian Kesehatan karena kemungkinan kejadian anemia hemolitik pada pasien defisiensi enzim G6PD yang bayak ditemui di daerah endemik malaria.
Orang dengan defisiensi enzim tersebut sensitif terhadap beragam obat, termasuk primakuin sehingga rentan mengalami anemia hemolitik.
Menurut Anggi, uji klinis untuk membandingkan efikasi dan efek samping primakuin dengan dosis 15 mg/hari dan 30 mg/hari pada populasi Indonesia diperlukan untuk menentukan dosis optimal primakuin untuk mencegah kekambuhan atau antirelaps pada malaria vivaks. Selama ini, metode untuk mendeteksi metabolit aktif primakuin dalam plasma manusia belum ditemukan.
Primakuin merupakan satu-satunya antihipnozoit atau pencegahan aktivasi parasit malaria dalam hati yang menyebabkan kekambuhan terjadi. Dalam penelitian sebelumnya ditemukan, kejadian relaps sebesar 14 persen pada pasien yang diberikan primakuin dosis 30 mg/ hari.
Frekuensi relaps malaria vivaks di Indonesia diperkirakan lebih tinggi karena dosis yang digunakan hanya setengah dari dosis uji klinis yang dilakukan dalam penelitian itu.
Guru Besar Tetap Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rianto Setiabudy yang menjadi promotor dalam sidang promosi doktor tersebut menyatakan, penelitian doktoral yang dilakukan Anggi bisa jadi acuan dalam tata laksana pengobatan malaria vivaks di Indonesia.
“Riset ini strategis karena fokus yang diteliti menyangkut masalah kesehatan masyarakat yang tidak sedikit ditemui,” ujarnya.
Anggota tim penguji yang juga peneliti senior bidang malaria Lembaga Biologi Molekular Eijkman Farah N Coutrier menyampaikan, penelitian terkait penanganan malaria sangat penting dikembangkan karena masalah malaria yang masih banyak dijumpai di sebagian daerah di Indonesia. Hal ini diperlukan untuk mendukung target pemerintah untuk mencapai eliminasi malaria pada 2030.
“Setidaknya masih ada daerah yang endemis malaria, seperti Indonesia bagian Timur, Sumatera bagian Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Riset serupa harus terus dilakukan agar pengobatan malaria bisa tuntas,” ucapnya.