Krakatau, Tiga Dekade Kemudian
Dulu, band Krakatau adalah ”macan” festival band, juga sering memuncaki tangga lagu radio. Dulu, lagu-lagu mereka kerap mengiringi pesta. Lebih dari tiga puluh tahun kemudian, mereka manggung bareng anak-anaknya, juga menyuarakan keprihatinan terhadap lingkungan. Para personelnya relatif sama.
Tepat pukul 20.15, penonton yang sudah menempati kursi empuk sesuai nomor masing-masing di gedung pertunjukan Ciputra Artpreneur, Jakarta, Selasa (30/4/2019), disuguhkan tari-tarian. Pembawa acara yang hanya ”hadir” lewat suaranya memanggil nama-nama personel band berurutan.
Gilang Ramadhan si pemain drum disebut pertama. Lantas menyusul adalah gitaris Donny Suhendra, pemain bas Pra Budidharma, duo kibordis Dwiki Dharmawan serta Indra Lesmana mendapat keplokan paling keras. ”Hadirin, inilah Krakatau….”
Konser tunggal band Krakatau yang diberi tajuk ”Konser Prthvi Mata” ini resmi dimulai. Nama vokalis Trie Utami belum dipanggil karena belum waktunya dirinya keluar. Jreng, kelima teman lama itu memainkan nomor instrumental. Baru pada lagu kedua, Iie—panggilan Trie Utami—menunjukkan sosoknya dalam balutan pakaian hitam-hitam, kontras dengan teman-temannya yang warna-warni.
Lagu berjudul ”Kemelut” menjadi awal perjumpaan penonton dengan semua personel Krakatau malam itu. Lagu yang mengentak itu disambung dengan nomor ”Imaji”. Dua-duanya dicuplik dari album perdana mereka keluaran 1987. Ya ampun, album itu sudah berumur 32 tahun!
Jurnalis musik Dion Momongan pernah menulis bahwa band ini awalnya memakai nama Messopotamia. Awalnya, grup ini dibentuk oleh Pra Budidharma, Donny Suhendra, dan Dwiki Dharmawan yang waktu itu masih siswa SMA di Bandung. Mereka baru dapat pemain drum Budhy Haryono (pernah main di band Gigi) pada 1985. Setelah berempat, mereka ganti nama menjadi Krakatau, nama gunung yang meletus pada tahun 1983.
Letusan dahsyat gunung itu tecermin pula di band. Mereka sempat mengikuti festival band Light Music Festival. Dengan skill musik jazz dan rock sekaligus, mereka menjadi juara. Festival itu sering disebut-sebut sebagai festival bergengsi pada masa itu. Karena menang di festival itu, mereka berhak berlaga di Jepang. Di ”Negeri Sakura”, lagi-lagi mereka mendapatkan penghargaan bergengsi.
Setahun kemudian, formasi itu berganti. Budhy mengundurkan diri digantikan Gilang Ramadhan. Indra Lesmana juga bergabung tak lama kemudian. Sementara Trie Utami diaudisi sebagai vokalis karena mereka ditawari rekaman album.
Tenar
Formasi Dwiki, Donny, Gilang, Indra, Pra, dan Trie itulah yang menghasilkan album debut pada 1987. Lewat album, yang katanya laris sampai 800.000 keping kaset itu, nama Krakatau makin moncer. Pada dekade itu, bukan kebetulan, corak musik yang agak ngejazz sedang naik daun.
Ada banyak band yang menggabungkan unsur rock, jazz, dan pop—atau istilahnya fusion—berseliweran di acara kampus, pub, ataupun festival. Di antaranya adalah Bharata Band, Funk Section, dan Karimata yang antara lain diawaki Candra Darusman, Aminoto Kosin, dan Erwin Gutawa. Band-band jazzy ini meramaikan kancah musik pop dalam negeri saat itu.
Demam disko di dekade 1980-an melahirkan lagu-lagu rancak untuk mengiringi pesta. Lagu ”Hip-hip Hura” yang dipopulerkan Chrisye adalah salah satu yang menonjol kala itu. Krakatau tak mau kalah. Iie dan Indra menciptakan lagu berjudul ”La Samba Primadona” yang dimasukkan di album kedua keluaran 1988.
Lirik lagu itu terdengar agak narsistik. Iie, dengan gaya centilnya, bernyanyi begini. ”Lihatlah padaku, manisnya senyumku/ Coba tengok langkahku, semua membuat rindu/...” Lantas, pada bagian reff, Dwiki, Indra, dan Donny menyahutkan, ”Dia memang ratu pesta, dia memang primadona.”
Sebagai lagu terkenal, Krakatau tentu membawakan lagu itu pada konser Selasa pekan lalu. Namun, tentu saja, mereka memainkannya di hampir ujung acara. Keceriaan ala pesta masih terasa. Terlebih lagi disokong oleh koreografi dan layar besar yang menampilkan lampu kelap-kelip. Kualitas suaranya pun jauh lebih baik dibandingkan dengan versi kaset. Ya, iyalah, teknologi audio/visual sekarang, kan, sudah melesat jauh.
Tak cuma nostalgia
Lagu-lagu lawas yang mereka bawakan di malam itu, termasuk ”Kau Datang”, ”Gemilang”, dan lagu instrumentalia bernuansa pantai tropis ”Haiti”, menguarkan aroma nostalgia. Namun, itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan konser berdurasi sekitar tiga jam itu.
Krakatau sepertinya emoh terjebak nostalgia belaka. Ada pesan besar yang hendak mereka sampaikan yang relevan dengan kondisi hari ini.
”Manusia adalah predator atau perusak paling dahsyat di bumi ini. Kita (manusia) memerlakukan alam sebagai obyek, bukan subyek sehingga mengeksploitasi bumi,” kata Dwiki sebelum memulai lagu ”Ini Saatnya”. Lagu itu ada di album teranyar mereka, Chapter Two, yang diproduksi tahun 2018.
Di lagu itu, Iie menyanyikan bahwa manusia datang dengan angkuh, merusak alam. ”Renungkanlah karena sesal tiada berguna,” pesan Krakatau di lagu itu. Wah, berbeda sekali dengan kisah kedatangan Iie di sebuah pesta pada lagu ”La Samba Primadona” dulu, ya.
Semua lagu di album produksi DSS Music itu bertema lingkungan. Atas alasan mengenalkan album baru itulah Krakatau berkonser. Bahkan, tajuk konsernya, Prthvi Mata, yang berarti ibu bumi, dicuplik dari salah satu judul lagu di album tersebut.
Lagu-lagu bertema lingkungan yang sebagian besar dari album baru dikumpulkan pada segmen khusus. Di segmen ini Krakatau diiringi orkestra instrumen gesek dan tiup asuhan Alvin Witarsa. Lagu ”Prthvi Mata”, ”Rain”, ”Senyawa”, dan ”Terumbu Menangis” dimainkan berdekatan.
Indra, Dwiki, dan Iie bergantian mengutarakan imbauan menjaga lingkungan. ”Sehijau apa pun sekeliling kita, kita hanya memakai. Kita perlu menanam ulang karena pohon adalah bagian tak terpisahkan dari hidup kita,” pesan Iie sebelum lagu ”Senyawa”.
Pesan-pesan pelestarian lingkungan itu seolah hendak disampaikan Krakatau kepada penonton generasi muda, termasuk anak-anak mereka. Di panggung, anak-anak Krakatau ini diberi kesempatan tampil barengan. Gitaris Donny Suhendra berduel dengan anaknya, Redi, yang juga gitaris.
Kehadiran anak-anak mereka di panggung menyiratkan bahwa Krakatau kini telah menjelma menjadi keluarga besar. Para penonton dan penggemar mereka adalah bagian dari ”keluarga” itu, keluarga yang diimbau untuk mengasihi ibu bumi.