JAKARTA, KOMPAS – Setelah memilih 18 pemain utama dari 24 pemain, tim pelatih tim LKG-SKF Indonesia untuk Piala Gothia 2019 mulai fokus membenahi masalah nonteknis.
”Delapan belas pemain ini adalah yang terbaik. Kemampuan mereka sudah baik dan merata. Tidak ada masalah serius terkait hal teknis. Masalah yang harus dibenahi justru hal nonteknis, seperti komunikasi dan mentalitas,” ujar pelatih tim LKG-SKF Indonesia, Jumhari Saleh, di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Tim pelatih berbicara satu per satu dengan ke-18 pemain, menjelaskan kelebihan dan kekurangan setiap pemain. Dari pertemuan itu, pelatih berharap pemain bisa mempertahankan kelebihan dan memperbaiki kekurangannya.
Kesimpulan dari pertemuan itu, Jumhari mengatakan, masalah utama para pemain adalah komunikasi dan mentalitas. Intensitas komunikasi antarpemain di lapangan sangat minim sehingga permainan tidak berjalan kompak dan mulus. Anak asuhnya juga belum berani bermain sesuai bakat dan kemampuan yang mereka perlihatkan selama mengikuti Liga Kompas Gramedia U-14 2018/2019.
Karena itu, pelatih akan mendorong pemain agar lebih akrab dan menjalin komunikasi yang lebih intens. Terkait mentalitas, pemain akan diuji tanding melawan tim dengan pemain berusia lebih tua dan bertubuh lebih besar. Diharapkan, dengan cara itu, anak-anak bisa tumbuh keberanian bertarung dan mengeluarkan semua bakat serta kemampuan terbaiknya.
”Kami mungkin akan mengadakan kelas motivasi juga untuk anak-anak agar mereka semakin akrab berkomunikasi. Cara itu juga diharapkan bisa membuat mereka lebih percaya diri dan tidak takut lagi mengeluarkan kemampuan terbaik,” tutur Jumhari.
Pemain belakang LKG-SKF Indonesia, Mulkan Hanif Alfaris, menyampaikan, komunikasi belum terjalin karena pemain masih canggung. Para pemain berasal dari sekolah sepak bola yang berbeda-beda. Mereka baru bergabung menjadi satu tim pada dua bulan terakhir. Untuk itu, mereka masih belum cair dalam berkomunikasi, terutama di lapangan.
Sejumlah pemain juga belum lepas karena banyak tekanan dari dalam dan luar lapangan, termasuk dari orangtua pemain yang meminta anaknya menjadi yang terbaik.
”Saya terus ditekan ayah menjadi yang terbaik di tim ini. Padahal, saya ingin bermain dengan gaya saya sendiri. Ini yang membuat saya menjadi tidak lepas bermain. Kata-kata ayah terus terngiang di kepala saat saya bertanding,” ungkap pemain yang berposisi di lini belakang tersebut.
Perhatikan sikap
Pelatih yang pernah membawa Kabomania SKF Indonesia pada 2012 dan ASIOP Apacinti SKF Indonesia pada 2013 berlaga di Piala Gothia Dede Supriadi menuturkan, tim pelatih harus memperhatikan sikap para pemain. Hal itu akan menjadi salah satu faktor penting penilaian di Piala Gothia. Berkaca pada 2012, semua tim asal Malaysia diskors tampil di Piala Gothia setelah pemain putra Malaysia ketahuan mengintip kamar mandi tim putri.
Lalu pada 2013, salah satu pemain ASIOP Apacinti SKF Indonesia diskors tidak boleh tampil dari babak 16 besar hingga kejuaraan usai, karena menyikut pemain lawan. Aksi itu tidak terlihat oleh wasit, namun salah seorang orang tua pemain yang merekam aksi tersebut dan menunjukkannya pada wasit. Esok harinya, pemain bersangkutan langsung dapat surat skorsing tersebut.
”Jadi, Piala Gothia ini tidak hanya mengejar juara. Di sana, yang lebih diutamakan justru pendidikan atau pembelajaran pemain muda untuk menjadi pemain profesional yang baik. Mereka tidak hanya diajak mengembangkan bakat sepak bolannya melainkan pula sikap/moral,” tutur Dede.
Terkait hal teknis, Jumhari menambahkan, tim hanya butuh peningkatan kecerdasan atau kreativitas dalam bermain. Sejauh ini, permainan mereka masih monoton atau mudah terbaca lawan. Kendati demikian, pelatih memang belum memberikan pemahaman taktik dan strategi dalam bermain.
”Dua bulan setengah sebelum tampil di Piala Gothia ini, kami akan lebih fokus memberikan ilmu baru mengenai pemahaman taktik dan startegi kepada pemain. Dengan demikian, kami berharap para pemain bisa lebih kreatif dalam pertandingan,” kata Jumhari.