Optimisme Didukung Tren Harga Sawit

KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman

JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri makanan dan minuman optimistis pertumbuhan sektor tersebut akan lebih baik dari triwulan I-2019. Optimisme itu antara lain didukung tren kenaikan harga sawit dan potensi pasar pangan olahan di pasar lokal maupun ekspor.

”Sawit masuk dalam perhitungan produk domestik bruto industri makanan minuman,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Volume perdagangan minyak sawit diperkirakan meningkat meskipun tidak besar. Harga minyak sawit mulai membaik dibandingkan dengan harga pada triwulan IV-2018 yang di bawah 500 dollar AS.

”Sekarang harganya sudah di atas 500 dollar AS meskipun masih di bawah harga triwulan I-2018, yaitu di atas 600 dollar AS,” kata Adhi.

Pasar pangan olahan makanan dan minuman nonsawit, menurut Adhi, di tingkat lokal diperkirakan lebih baik. Meski demikian, ekspor diperkirakan tetap meningkat kendati peningkatannya berkisar 5-10 persen.

Lebih lanjut Adhi menambahkan, pemerintah mesti mendorong keyakinan investor untuk melanjutkan dan menambah investasi mereka di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada Januari-Maret 2019 sebesar Rp 195,1 triliun. Jumlah itu terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 107,9 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 87,2 triliun.

Adapun target investasi tahun ini Rp 792 triliun, yang terdiri dari PMA Rp 483,7 triliun dan PMDN Rp 308,3 triliun.

Data BKPM menunjukkan, realisasi PMDN di sektor usaha makanan pada triwulan I-2019 sebesar Rp 8,93 triliun pada 944 proyek. Sementara, realisasi PMA 383,2 juta dollar AS pada 863 proyek.

Kementerian Perindustrian mencatat industri makanan dan minuman tumbuh 7,91 persen pada 2018. Ekspor produk makanan dan minuman Indonesia sepanjang 2018 senilai 29,91 miliar dollar AS.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam berbagai kesempatan menuturkan, rata-rata kontribusi sektor manufaktur negara-negara industri di dunia terhadap perekonomian sekitar 17 persen.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan nonmigas pada triwulan I-2019 sebesar 4,8 persen. Subsektor industri manufaktur dengan pertumbuhan tertinggi adalah industri tekstil dan pakaian jadi, yakni 18,98 persen. Selanjutnya, industri pengolahan tembakau yang tumbuh 16,10 persen. Adapun industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh 11,53 persen.

Menurut catatan Kementerian Perindustrian, sebagian besar industri itu adalah sektor yang diprioritaskan untuk dikembangkan sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. (CAS)