Kelompok masyarakat Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta DPR untuk tidak terburu-buru menyelesaikan KUHP sebelum beberapa masalah yang dirasa krusial terselesaikan. Berdasarkan draft terakhir tertanggal 9 Juli 2018, Aliansi menemukan 18 poin masalah yang belum terselesaikan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat bertekad menuntaskan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sudah berlangsung sejak 2015, sebelum periode 2014-2019 berakhir pada September 2019. Namun, pembahasan ini diharapkan tidak terburu-buru karena masih ada beberapa rancangan pasal yang mengundang kontroversi masyarakat.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, Rabu (8/5/2019), di Jakarta, mengatakan, komitmen untuk menyelesaikan Revisi KUHP (RKUHP) dalam sisa periode keanggotaan Dewan sudah disepakati di antara anggota komisi sebelum hiruk-pikuk masa kampanye Pemilu 2019.
RKUHP adalah salah satu RUU penting dan yang paling lama dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019. Pembahasan R-KUHP telah diperpanjang 16 kali masa sidang atau sekitar empat tahun.
Arsul mengakui, hambatan berasal dari kesepakatan antarfraksi yang sulit dicapai dalam sejumlah poin. Salah satu poin krusial yang belum dapat disepakati adalah pencantuman bab terkait tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi dan juga tindak pidana terorisme.
”Target kami RKUHP selesai sebelum 30 September 2019,” kata Arsul.
Arsul berpandangan, RKUHP harus segera diselesaikan sebelum periode kerja mereka berakhir agar menghindari kemungkinan kembalinya pembahasan dari awal di DPR periode selanjutnya. ”Kalau dimulai dari awal, itu bagaimana? Bisa saja satu periode tidak selesai lagi,” kata Arsul.
Masalah krusial
Berkait hal ini, kelompok masyarakat Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta DPR untuk tidak terburu-buru menyelesaikan KUHP sebelum beberapa masalah yang dirasa krusial terselesaikan. Berdasarkan draft terakhir tertanggal 9 Juli 2018, Aliansi menemukan 18 poin masalah yang belum terselesaikan.
Sejumlah poin tersebut mulai dari pidana mati yang seharusnya dihapuskan, kriminalisasi alat kontrasepsi yang bertentangan dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, kriminalisasi aborsi yang belum sesuai dengan UU Kesehatan, hingga pencantuman bab tindak pidana korupsi yang akan menimbulkan duplikasi rumusan.
Oleh karena itu, Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP karena masih memiliki banyak permasalahan. Aliansi juga meminta untuk pemerintah dan DPR untuk membuka semua perkembangan pembahasan RKUHP yang telah dilakukan, termasuk menggelar pembahasan RKUHP secara terbuka bagi publik.
”Dari awal 2018 hingga 9 Juli 2018, Aliansi mencatat ada sembilan rapat internal pemerintah yang sifatnya tertutup dan tidak dapat diakses publik,” kata Maidina.
Mendesak diselesaikan
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, RKUHP merupakan salah satu dari sekitar 20 RUU yang ditargetkan tuntas dibahas dan disahkan dalam periode 2014-2019. Dalam Masa Persidangan ke-V Tahun Sidang 2018-2019, secara khusus Bambang menyebut empat RUU yang mendesak untuk diselesaikan.
Empat RUU tersebut adalah RUU tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan; RUU tentang Perkoperasian; RUU Revisi UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; dan RUU tentang Ekonomi Kreatif.
Bambang meyakini, anggota DPR yang tidak terpilih kembali tetap akan serius membahas RUU agar dapat tuntas sebelum periode jabatan berakhir.
”Berdasarkan pengalaman 2014, kawan-kawan yang tidak lanjut tetap semangat. Dulu RUU juga banyak kita selesaikan di akhir 2014,” kata Bambang.
Hingga Masa Persidangan ke-V dimulai, masih ada 34 RUU dalam Prolegnas 2019 yang menunggu pembahasan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, masih sangat mungkin bagi DPR untuk bisa memenuhi target menyelesaikan sekitar 20 dari 34 RUU dalam Prolegnas 2019.
Dalam catatannya, anggota DPR 2014-2019 dapat menyelesaikan 17 RUU di tahun terakhirnya. Lucius melihat hal ini dipengaruhi faktor keinginan seluruh anggota DPR, termasuk petahana yang gagal masuk kembali, untuk menorehkan pencapaian yang baik.
”Jadi tampaknya yang gagal terpilih masih punya niat baik untuk menorehkan kenangan positif sebelum kembali menjadi rakyat biasa,” kata Lucius.