JAKARTA, KOMPAS — Wacana mengevaluasi sifat keserentakan pemilihan umum akan diseriusi melalui tindak lanjut revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu pada periode mendatang. Pembenahan sistem itu dinilai mendesak untuk mengatasi beberapa kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu yang lalu serta mengantisipasi Pemilu 2024 yang akan bertepatan dengan pemilihan kepala daerah serentak.
Pasca-pemungutan suara 17 April 2019 yang menyisakan sejumlah persoalan, opsi mengevaluasi sifat keserentakan pemilu mengemuka dari berbagai pihak, seperti partai-partai politik, Komisi Pemilihan Umum, serta pemerhati pemilu dan demokrasi. Beberapa opsi mengemuka, seperti memisahkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden atau memisahkan pemilihan lokal dan nasional.
Dalam rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Daerah RI dengan Kementerian Dalam Negeri, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Kejaksaan Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2019), rencana mengevaluasi sifat keserentakan pemilu itu mengemuka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui DPR dan pemerintah selaku pembuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kurang mengantisipasi berbagai aspek detail pemilu serentak. Beberapa di antaranya, ujar Tjahjo, adalah masa kampanye yang terlalu panjang serta aspek kesehatan petugas penyelenggara di lapangan akibat proses pungut-hitung yang panjang dan melelahkan.
”Kalau boleh jujur, memang kita kecolongan. Misalnya, kita tidak terpikir bahwa masa kampanye tidak perlu sampai berbulan-bulan. Kita juga tidak terpikir bahwa kesehatan anggota KPPS juga perlu diantisipasi, seperti perlu ambulans, butuh asuransi kesehatan untuk para petugas,” kata Tjahjo.
Sifat keserentakan
Ia mengatakan, pihak pemerintah siap mengkaji sistem pemilu serentak secara menyeluruh bersama DPR, DPD, serta KPU dan Bawaslu. DPR dan pemerintah juga akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan tafsir sifat keserentakan pemilu yang dimaksud dalam putusan untuk menimbang sejumlah opsi pemisahan pemilu serentak, seperti memisahkan pileg dan pilpres atau pemilu lokal dan nasional.
Kajian pemilu serentak semakin mendesak dilakukan mengingat Pemilu 2024 akan jatuh di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak.
Jika diadakan serentak, beban pemilu serentak pada 2024 akan berlipat ganda dibandingkan dengan sekarang. Sebab, pilkada serentak pada 2024 akan memilih 34 gubernur, 504 bupati/wali kota, serta ribuan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun yang sama, rakyat juga akan memilih 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD RI, serta presiden dan wakil presiden RI.
”Lima tahun lagi, amanatnya akan ditambah juga dengan penyelenggaraan pilkada serentak. Pemilu dengan lima kertas suara saja sudah seperti ini, apalagi ditambah dua item lagi (untuk gubernur dan wali kota/bupati),” ujarnya.
Lima tahun lagi, amanatnya akan ditambah juga dengan penyelenggaraan pilkada serentak. Pemilu dengan lima kertas suara saja sudah seperti ini, apalagi ditambah dua item lagi (untuk gubernur dan wali kota/bupati).
Tjahjo berharap revisi undang-undang ke depan tidak perlu terlalu sering dilakukan. Selama ini, ada kecenderungan undang-undang pemilu diubah setiap pemerintahan berganti. ”Saya kira harus disepakati bahwa ini menjadi undang-undang terakhir kita. Sistemnya kali ini harus kuat untuk jangka panjang. Kalau setiap tahun undang-undang diganti, kapan tuntasnya?” katanya.
Wakil Ketua DPD RI Akhmad Muqowam mengatakan, ke depan, sistem pemilu harus dibuat ajek untuk jangka panjang. Penyelenggaraan pemilu serentak tidak bisa lagi dilakukan secara asimetris dengan menggabungkan pemilihan legislatif dengan eksekutif pada hari yang sama. ”Legislatif ya legislatif. Eksekutif ya eksekutif. Apalagi ke depan akan ada pilkada serentak, semakin rumit,” ujarnya. Sebelumnya, pemisahan pemilu serentak juga sudah diusulkan oleh KPU dan mayoritas partai politik yang memiliki kursi di DPR serta para pegiat pemilu dan demokrasi.
Untuk menyederhanakan tahapan pungut-hitung dan rekapitulasi suara, usulan pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pun kembali diusulkan di rapat evaluasi. Tjahjo mengatakan, usulan itu sebenarnya sudah disampaikan sejak pembahasan RUU Pemilu pada 2017.
Untuk menyederhanakan tahapan pungut-hitung dan rekapitulasi suara, usulan pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pun kembali diusulkan di rapat evaluasi.
Namun, karena faktor kendala geografis antarwilayah yang berbeda serta kesiapan sambungan telekomunikasi dan teknologi, KPU akhirnya meminta menunda penerapan e-voting.
Wakil Kepala BIN Teddy Laksmana Widyakhusuma mengatakan, sebagai bagian dari persiapan e-voting, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan jaringan. Hal utama yang perlu disiapkan adalah infrastruktur yang kuat, termasuk jaringan internet yang kuat dan dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia.