Penangkaran jalak atau curik bali (”Leucopsar rothschildi”) di luar habitatnya di kawasan Taman Nasional Bali Barat menambah populasi satwa endemik Bali itu di alam liar.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Penangkaran jalak atau curik bali (Leucopsar rothschildi) di luar habitatnya di kawasan Taman Nasional Bali Barat menambah populasi satwa endemik Bali itu di alam liar. Populasi curik Bali, yang pernah tersisa hanya belasan ekor di kawasan Taman Nasional Bali Barat pada 2005, kini diperkirakan mencapai 191 ekor.
Kepala Taman Nasional Bali Barat (TNBB) Agus Ngurah Krisna Kepakisan, yang dihubungi Kompas dari Denpasar, Bali, Rabu (8/5/2019), mengatakan, penangkaran curik bali juga dilakukan kelompok masyarakat, baik dari sekitar kawasan TNBB maupun di daerah lain, selain penangkaran di TNBB. Penangkaran oleh kelompok masyarakat atau perorangan secara ex situ atau di luar habitatnya di kawasan TNBB menambah jumlah populasi dan mengurangi pencurian burung di habitat alaminya.
”Penangkaran secara ex situ oleh perorangan atau kelompok masyarakat juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian satwa endemik Bali, selain memberikan manfaat ekonomis bagi penangkarnya,” kata Agus.
Curik bali adalah burung dengan ciri bulu putih bersih dengan warna hitam pada ujung sayap dan bulu ekor. Kekhasan lain adalah warna biru tua melingkari kedua mata. Curik bali dikategorikan kritis karena populasinya di alam liar semakin sedikit. Curik bali termasuk satwa spesies langka dan terdaftar dalam Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies-spesies Flora dan Satwa Liar (CITES).
Penyebaran habitat alami curik bali ada di kawasan TNBB yang meliputi wilayah dua kabupaten, yakni Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng. Menurut Agus, habitat curik ada di hutan mangrove, savana atau padang rumput, serta hutan dataran rendah.
Secara terpisah, Kepala Subbagian Tata Usaha Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Bali I Ketut Catur Marbawa mengatakan, penangkaran secara ex situ sudah dibolehkan. Namun, kelompok atau perorangan yang hendak melakukan penangkaran diwajibkan mengikuti persyaratan, termasuk melaporkan perkembangannya secara rutin ke BKSDA dan melepasliarkan sebagian satwa hasil penangkaran.
Jumat (26/4/2019), sebanyak 40 curik bali hasil dari penangkaran di lembaga konservasi dan tempat wisata tematik Bali Safari and Marine Park (BSMP), Gianyar, dilepasliarkan di kawasan taman wisata itu. Kawasan sekitar BSMP atau Taman Safari Bali di Gianyar, menurut Sekretaris Asosiasi Pelestari Curik Bali Keni Sultan, dinilai memiliki daya dukung yang baik untuk perkembangbiakan curik bali di luar habitatnya.
Pelepasliaran curik bali hasil penangkaran lembaga konservasi itu juga disertai penandatanganan komitmen bersama pelestarian burung dan satwa liar, terutama di kawasan tiga desa sekitar Taman Safari Bali, yakni Desa Medahan, Desa Lebih, dan Desa Serongga, Gianyar.
Ngakan Nyoman Sumantra (49), anggota kelompok penangkar curik bali di Desa Serongga, Gianyar, mengatakan, penangkaran oleh warga juga menjadi bentuk pemberdayaan ekologi dan ekonomi masyarakat. ”Dari sisi ekonomi, penangkaran curik bali membuka peluang ekonomi karena penangkar dibolehkan menjual burung hasil penangkaran. Harga curik Bali lumayan mahal. Kalau yang sudah lengkap dengan cipnya bisa belasan juta rupiah per ekor,” kata Sumantra kepada Kompas, Rabu (8/5/2019).