Pendidikan Antikorupsi Hanya Bagian dari Ekosistem Pemberantasan Korupsi
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyisipan pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sebenarnya belum cukup menjamin akan membentuk kepribadian anak didik yang berintegritas. Upaya itu harus juga dibarengi pembenahan yang menyeluruh dari lingkungan sekitarnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan, pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan hanya bagian kecil dari upaya pembentukan karakter anak. Menurut Agus, upaya itu juga harus disikapi secara serius oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
”Pembentukan karakter anak itu harus terus dibiasakan, dan kebiasaan itu harus dikontrol masyarakat. Masyarakat dan pengajar pun harus tahu, mana yang boleh dan tak boleh itu apa. Kalau tidak ada kontrol yang berlanjut, ya percuma,” tutur Agus kepada Harian Kompas di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Sebelumnya, pada akhir 2018, rencana penyisipan pendidikan antikorupsi di seluruh jenjang pendidikan ini telah disepakati oleh Ketua KPK; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir; serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Implementasi diharapkan bisa terlaksana seluruhnya mulai ajaran baru 2019 atau Juni 2019. Namun, hingga saat ini, penyisipan pendidikan antikorupsi itu baru dijalankan oleh dua pemerintah daerah, yaitu Jawa Tengah dan Kota Bogor.
Pada akhir 2018, rencana penyisipan pendidikan antikorupsi di seluruh jenjang pendidikan ini telah disepakati oleh Ketua KPK, Mendikbud Muhadjir Effendy, Menristek dan Dikti Mohamad Nasir, dan Menag Lukman Hakim Saifuddin.
Sebagai catatan, penyisipan pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota melalui peraturan wali kota atau peraturan bupati. Sementara jenjang pendidikan menengah atas merupakan kewenangan pemerintah provinsi melalui peraturan gubernur.
Kontrol
Agus menjelaskan, pendidikan antikorupsi akan menjadi percuma kalau lingkungan sekolah tidak mendukung upaya pendidikan tersebut. Oleh karena itu, lanjut Agus, tingkah laku guru sebagai orang terdekat anak semasa di sekolah menjadi kunci pembentukan karakter anak.
Sebagai contoh, seorang guru tidak boleh memberikan bimbingan belajar atau les kepada siswa di sekolahnya sendiri. Sebab, itu sangat berpotensi terjadi konflik kepentingan (conflict of interest).
”Perilaku guru harus dikontrol karena mereka memberi contoh yang nyata dan mendasar bagi anak,” kata Agus.
Tak hanya itu, menurut Agus, lingkungan rumah juga harus bisa mendukung atmosfer pendidikan antikorupsi itu sendiri. Sebagai contoh, orangtua siswa yang memiliki jabatan tertentu di suatu daerah tak boleh semena-mena menjual pengaruhnya agar anak tersebut mendapatkan perlakuan khusus di sekolah.
”Enggak boleh, dong. Itu, kan, praktik trading in influence di level-level yang sederhana,” katanya.
Penegakan hukum
Hal lain yang tak kalah penting, lanjut Agus, adalah penegakan hukum (law enforcement), terutama bagi mereka yang tak disiplin, tak jujur, dan tak taat pada aturan. Sebab, perubahan karakter itu terkadang harus dibarengi ”pemaksaan” budaya di masyarakat.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk sepakat bahwa penegakan hukum harus terus menjadi koridor di kehidupan bermasyarakat agar pendidikan antikorupsi tak menyimpang di tengah jalan.
”Tanpa didukung penegakan hukum yang kuat, ya repot. Penegakan hukum ini supaya budaya dan perilaku tertib terus terjaga,” kata Hamdi.
Dalam upaya menjaga pendidikan antikorupsi agar terus berjalan, menurut Hamdi, sistem juga harus terus diperketat di instansi publik sehingga praktik-praktik korupsi itu tak berkembang.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Sofia Hartati menambahkan bahwa pembentukan karakter antikorupsi tidak bisa instan, tetapi investasi jangka panjang. Karena itu, perlu ada konsistensi dan komitmen bersama untuk menegakkan kejujuran dalam segala aspek.
”Kalau hanya dalam bentuk pelajaran, kalau kita gagal mengimplementasikannya dalam bentuk perilaku, itu juga hanya akan menjadi knowledge belaka. Padahal, bukan itu yang dicari, melainkan sikap dan perilaku kita yang harus berubah,” tutur Sofia.