Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07 persen pada triwulan I-2019 dinilai bukan awalan yang baik. Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, diperlukan berbagai kebijakan, antara lain mendorong daya beli kelas menengah, meningkatkan daya saing industri, serta mengubah strategi ekspor.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07 persen pada triwulan I-2019 dinilai bukan awalan yang baik. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi diperlukan berbagai kebijakan, antara lain mendorong daya beli kelas menengah, meningkatkan daya saing industri, serta mengubah strategi ekspor.
”Pertumbuhan 5,07 persen bukan awalan yang baik. Apabila pemerintah tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 5,3 persen, setidaknya pertumbuhan pada triwulan II-2019 harus mencapai 5,27 persen,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Paparan itu dikemukakan dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh Indef dengan tema ”Jalan Terjal Target Pertumbuhan: Respons Perkembangan Ekonomi Triwulan I-2019”. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Peneliti Senior Indef Enny Sri Hartati, Direktur Program Indef Esther Sri Astuti, dan Direktur Riset Indef Berly Martawardaya.
Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan I-2019 lebih baik daripada triwulan I-2018 yang sebesar 5,06 persen. Bahkan, angka itu lebih baik daripada triwulan I-2017 (5,01 persen), triwulan I-2016 (4,94 persen), dan triwulan I-2015 (4,73 persen).
Namun, Tauhid menilai, pertumbuhan ini lambat karena dipengaruhi penurunan kinerja di berbagai sektor, antara lain sektor pertanian, industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta konstruksi. Peningkatan daya saing menjadi kunci dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Dalam upaya meningkatkan daya saing, diperlukan adanya strategi bisnis agar Indonesia dapat masuk dalam rantai nilai global yang sedang berkembang. Strategi ini salah satunya dapat diupayakan melalui pengkajian ulang terkait ketentuan impor bahan baku yang menjadi hambatan bagi investasi asing.
Sebagai catatan, pertumbuhan investasi pada triwulan I-2019 hanya sebesar 5,03 persen, turun jauh dibandingkan periode yang sama tahun 2018 sebesar 7,94 persen. Begitu pun laju pertumbuhan ekspor yang menurun tajam dari 5,94 persen di triwulan I-2018 merosot menjadi negatif 2,08 persen di triwulan I-2019.
”Maka, untuk menarik investasi, penerapan kebijakan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS) harus segera ada perbaikan antara perizinan di tingkat pusat dan daerah. Sudah ada penyesuaian, tetapi aturan perlu lebih diselaraskan,” kata Tauhid.
Selain itu, ia menambahkan, pelambatan ekonomi salah satunya terpengaruh dari faktor eksternal terkait perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Sebab, kedua negara ini masih menjadi negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia. ”Kita harus mencari negara-negara nontradisional agar dampak dari perang dagang tersebut tidak memengaruhi perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Ekonomi lokal
Namun, di sisi lain, Enny Sri Hartati mengatakan, faktor eksternal hanya menyumbang 20 persen dari keseluruhan nilai perekonomian Indonesia. Maka, penguatan ekonomi lokal harus menjadi fokus utama.
”Pemerintah selalu mengambinghitamkan ketidakpastian global. Padahal, sumber utama pertumbuhan kita ada di dalam negeri. Perang dagang pun sebenarnya berdampak baik bagi aliran investasi. Namun, sejumlah perizinan malah menghambat kesempatan itu,” tutur Enny.
Lebih lanjut ia menyampaikan, sebenarnya kalau kita mampu menjaga iklim investasi, pertumbuhan kita akan lebih terdongkrak. Sayangnya, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2017, realisasi investasi hanya sekitar Rp 600 triliun dari yang mendaftar sebesar Rp 2.000 triliun.
Sejalan dengan itu, dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Esther Sri Astuti menyoroti urgensi menjaga daya beli. Seiring pelambatan ekspor dan investasi, pertumbuhan ekonomi semakin bertumpu pada sektor konsumsi rumah tangga.
”Pada triwulan I-2019, laju konsumsi rumah tangga sebesar 5,01 persen, tumbuh dari 4,94 persen pada periode yang sama tahun lalu. Maka, agar laju konsumsi rumah tangga tetap stabil, bahkan meningkat, diperlukan upaya pengendalian inflasi secara maksimal oleh pemerintah,” kata Esther.
Di samping itu, ia menambahkan, tanda-tanda lonjakan harga sudah dimulai sejak bulan April seiring momentum Ramadhan dan Lebaran. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan upaya pengendalian inflasi agar daya beli masyarakat stabil sehingga konsumsi rumah tangga tidak mengalami stagnasi.
Dalam kesempatan yang sama, Berly Martawardaya mengatakan, sektor manufaktur pun penting untuk menjadi motor penggerak dalam peningkatan perekonomian. Sebab, sektor manufaktur dapat menyerap banyak tenaga kerja serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan keterampilan.
”Ke depan, pemerintah pun perlu mendorong sektor manufaktur yang berorientasi ekspor. Artinya, perlu adanya ekspor manufaktur berteknologi tinggi, tidak hanya mengandalkan sumber daya alam,” ujar Berly.