Dua dari tiga anak pernah mengalami kekerasan. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaparan berbagai program perlindungan anak masih sangat rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak dan remaja saat ini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan karena proporsi anak yang mengalami kekerasan lebih tinggi dari mereka yang tidak mengalami kekerasan. Fakta di lapangan di temukan bahwa dua dari tiga anak laki-laki maupun perempuan melaporkan pernah mengalami kekerasan salah satu atau lebih kekerasan sepanjang hidupnya.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun (SNPHAR) 2018 yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Selasa (7/5/2019), menemukan, anak dan remaja di Indonesia, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, emosional, dan fisik. Survei tersebut menemukan fakta bahwa anak perempuan lebih berisiko mengalami kekerasan seksual dan emosional. Sebaliknya anak laki-laki lebih berisiko mengalami kekerasan fisik.
“Saat ini anak-anak lebih berisiko mengalami kekerasan. Hasil survei menemukan sebanyak 62 persen anak-anak perempuan dan 61 anak laki-laki usia 13-17 tahun melaporkan pernah mengalami salah satu atau lebih kekerasan sepanjang hidupnya,” ujar Ignatius Praptoraharjo, Koordinator Tim SNPHAR 2018.
Peluncuran SNPHAR 2018 dilakukan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, bersama Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Ali Taher, Sekretaris Menteri PPPA Pribudiarta Sitepu, dan Deputi Perlindungan Anak KPPPA Nahar di Kantor Kementerian PPPA.
Dari survei SNPHAR 2018), ditemukan 1 dari 11 anak perempuan dan 1 dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan kekerasan fisik, 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan pernah mengalaminya. Adapun kekerasan emosional, 1 dari dua anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalaminya. Sedangkan pelaku kekerasan paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya.
Dari survei SNPHAR 2018), ditemukan 1 dari 11 anak perempuan dan 1 dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual.
“Temuan dua dari tiga anak pernah mengalami kekerasan menunjukkan bahwa hingga kini tingkat keterpaparan berbagai program perlindungan anak, termasuk informasi dan layanan pencegahan kekerasan masih sangat rendah,” ujar Praptoraharjo yang juga peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gajah Mada Yogyakarta;
Perlu perhatian khusus
Menanggapi survei tersebut, Yohana meminta semua pihak memberikan perhatian khusus. Kekerasan terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). "Jadi harus menjadi perhatian kita semua bagaimana menurunkan kekerasan terhadap anak dan remaja,” ujarnya.
Yohana menegaskan, SNPHAR 2018 akan segera disosialisasikan agar dapat dipakai pemerintah, DPR atau lembaga mana saja, terutama menjadi masukan bagi kementerian/lembaga untuk menyusun kebijakan untuk menurunkan angka kekerasan terhadap anak. “Kami meminta kepada DPR mohon RUU Penghapusan Kekerasan Seksual secepatnya disahkan. Karena RUU tersebut karena ada hubungannya dengan perlindungan perempuan dan anak,” ujarnya.
Ali Taher menyatakan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian DPR. Karena itu hingga kini DPR berkomitmen untuk membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
SNPHAR 2018, menurut Nahar, dilakukan KPPPA bekerja sama tim survei yang terdiri dari dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial; Badan Pusat Statistik; PKMK FKKMK UGM; Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia; dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial.
Survei tersebut mencakup 11.410 individu (dari target 13.920 individu) yang tersebar di 1.390 blok sensus di 232 kecamatan di 150 kabupaten/kota di 32 provinsi. Pengumpulan data berlangsung pada bulan November 2018.
“Survei ini merupakan survei yang dirancang untuk estimasi level nasional dengan target populasinya adalah anak-anak dan remaja berusia 13-21 tahun," kata Nahar.
Tujuan dari survei tersebut adalah untuk memperkirakan secara nasional tingkat kekerasan fisik, emosional, dan seksual terhadap anak laki-laki dan perempuan, mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan pelindung dari kekerasan, serta mengidentifikasi berbagai konsekuensi kesehatan dan sosial yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak-anak.
Selain itu, untuk mengukur tingkat pengetahuan dan penggunaan layanan medis, psikososial, hukum, dan perlindungan yang tersedia bagi anak korban kekerasan, serta mengukur tingkat keterpaparan terhadap berbagai program perlindungan anak, serta membuat rekomendasi kepada kementerian terkait.