Rangkap Jabatan Walikota Batam Potensi Timbulkan Maladministrasi
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana Walikota Batam menjadi ex-officio atau rangkap jabatan sebagai Kepala Badan Pengusahaan Batam bertujuan untuk mengatasi dualisme pengelolaan Batam. Namun, Ombudsman menilai, rencana ini berpotensi menimbulkan maladministrasi.
"Rencana ex-officio bagi Walikota Batam sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam dimunculkan tanpa adanya kajian hukum yang komprehensif. Jika nantinya diwujudkan, hal ini akan menimbulkan maladministrasi," ujar Anggota Ombudsman RI Laode Ida, di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Sebelumnya dalam acara Asosiasi Pengusaha Indonesia di Batam, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyampaikan, ”Kita tetap berprinsip, free trade zone berlaku untuk Batam. Tidak akan diubah macam-macam. Yang kita perbaiki ialah dualismenya. Karena keluhan di mana-mana, baik dari pengusaha asing maupun nasional. Sudah minta izin ke BP Batam, minta izin lagi ke Wali Kota Batam,” katanya. (Kompas, 4 April 2019)
Namun Laode menilai, isu dualisme merupakan tafsir subjektif yang berdasarkan kepentingan politik. Sebab, Pemerintah Kota Batam dan BP Batam adalah dua institusi dengan dasar aturan dan kewenangan yang berbeda. Maka, tidak tepat apabila dikatakan ada dualisme dalam pengelolaan Batam.
"Sebenarnya, yang terjadi itu bukan dualisme, namun belum adanya aturan tentang hubungan antara kedua lembaga tersebut sebagaimana yang diwajibkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 53 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 Tahun 2014," kata Laode.
Selama hampir 20 tahun, peraturan pemerintah atas UU tersebut tak kunjung dibuat. Pemerintah semestinya menyusun Peraturan Pemerintah mengenai hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dengan Otoritas Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang kini menjadi BP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.
Kemudian, setelah berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 pun, peraturan pemerintah tak kunjung dibuat. Padahal, peraturan itu penting dibuat untuk mengatur tentang Kewenangan Daerah, yaitu Pemerintah Kota Batam dalam Kawasan Khusus.
Pemerintah Kota Batam dan BP Batam adalah dua institusi dengan dasar aturan dan kewenangan yang berbeda. Maka, tidak tepat apabila dikatakan ada dualisme dalam pengelolaan Batam.
Laode menegaskan, jika Walikota Batam akan merangkap jabatan sebagai Kepala BP Batam, maka profesionalitas BP Batam selama ini akan sulit terhindar dari kendali partai politik. BP Batam selama ini berada di bawah Dewan KPBPB Batam, tidak tercampur dengan jabatan politik.
Masalah lain yang akan muncul juga terkait pengguna anggaran. Sebab, pengguna anggaran bukanlah pejabat yang dihasilkan dari sebuah pemilihan umum.
"Hal ini belum pernah terjadi dan akan menjadi preseden buruk dalam pengelolaan anggaran negara, yang harus dihindari," tutur Laode.
Gonta-ganti pimpinan
Di sisi lain, dalam kurun waktu 2016-2019 telah terjadi tiga kali pergantian kepemimpinan di BP Batam. Laode menyampaikan, pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Perekonomian dan Dewan Kawasan.
Padahal, dalam UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggantu UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang dalam Pasal 7 Ayat 3 diatur bahwa masa kerja Kepala dan Anggota BP Batam selama lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
"Pergantian pimpinan BP Batam oleh pemerintah merupakan bentuk maladministrasi. Selain melanggar aturan, perbuatan sewenang-wenang yang secara moral dan materiil juga merugikan orang yang terganti," tutur Laode.
Tak hanya itu, pergantian pimpinan yang begitu cepat juga menimbulkan ketidakpastian investasi di Batam. Dengan begitu, keadaan ini jelas merugikan masyarakat, khususnya dunia usaha.
"Pemerintah seharusnya mengatur mengenai pengawasan melekat dari Walikota Batam dan Gubernur Kepulauan Riau sebagai representasi Pemerintah Daerah kepada BP KPBPB Batam. Tujuannya agar memperkuat dan memperjelas peran serta posisi mereka dalam Dewan Kawasan," ujar Laode.